Majalengka, 08 Desember 2022"Besok bisa antar aku ke gramed Cirebon?"
"Besok mau sama Tyas ke Kuningan."
"Oh, okay."
Raisa melemparkan asal hapenya ke atas kasur, menghembuskan napas lelah. Duduk lesehan di samping tempat tidur sembari memejamkan mata, mengontrol emosi yang sebentar lagi akan meledak. Tyas, Tyas, Tyas. Padahal yang menjadi pacar dia, tapi kenapa selalu Tyas yang di prioritaskan?
Sudah hampir 3 tahun ia dan Andika berpacaran, awalnya baik-baik saja, seperti pasangan pada umumnya. Tapi setelah Andika mengenal Tyas, teman satu kelasnya, membuat semuanya berubah secara perlahan. Raisa bukan lagi prioritas, bahkan pesan-pesan singkat WhatsApp yang biasanya mengisi waktu luang di malam hari kini sudah tidak ada lagi.
Menghembuskan napas panjang, merangkak menaiki kasur dan kembali mengutak-atik hapenya lagi. Dalam pikirannya sekarang hanya tertuju pada satu nama, yaitu Gibran Saka. Sang sahabat yang katanya kembaran Sehun EXO.
"Yo..."
Raisa tersenyum, suara itu. Suara yang selalu ia dengar setiap harinya, suara yang sangat familiar di telinganya. Dan selalu, Saka selalu bilang "Yo.." dari pada "Hallo.." ketika di telepon. Ciri khas katanya.
"Besok jadi ke kopi jebor Jatiwangi?"
"Jadi dong! Kenapa?"
"Ya, gak papa sih... Cuma nanya doang jadi nggak."
"Aishh... Cowok itu yang di pegang ucapannya dan di buktikan dengan tindakannya, jadi berhubung gue cowok sejati ya pasti bakal di tepati. Besok jadi gue traktir lo di kopi jebor, atau mau sekalian main kemana gitu?"
Sederhana. Seorang Gibran Saka yang selalu peka pada Raisa. Gibran Saka yang selalu ada, menyediakan bahu dan telinga untuk Raisa. Gibran Saka, cowok manusiawi yang terlihat amburadul tapi tenar di kampus.
"Saka..."
Dan percayalah, saat ini Saka. Cowok itu sedang tersenyum lebar, wajah tengilnya berseri-seri. Saka selalu suka ketika Raisa memanggil namanya, meskipun panggilan itu sama seperti teman-temannya yang lain tapi bagi Saka, kalau Raisa yang manggil "Saka..." Ada sesuatu yang berbeda di dalamnya. Sesuatu yang mampu membuatnya senang bukan kepalang.
"Cowok semuanya babi."
Saka. Di kamarnya terlonjat kaget, mengedipkan matanya beberapa kali. "Gue bukan babi ya," ujarnya tidak terima.
"Kalo gitu, berarti lo cewek."
"Kenapa sih Sa? Berantem lagi sama Andika? Gue bilang juga apa, putus aja. Hubungan kalian tuh udah nggak bisa di pertahanin lagi."
"Yaudah, besok gue putus."
"Bagus. Nanti lo jadian aja sama gue, jadi pacar gue, calon istri gue, dan calon ibu dari anak-anak gue."
Raisa memutarkan bola matanya malas. "Mahar gue 3 triliun, kalo nggak sanggup jangan coba-coba."
Setelah mengatakan itu, Raisa dengan cepat mematikan teleponnya. Berbaring terlentang, memandangi langit-langit kamar sembari terus berpikir bagaimana caranya agar Andika bisa balik lagi seperti dulu.
Sulit bagi Raisa untuk membenci Andika. Meskipun ia sadar, sesadar-sadarnya manusia. Andika sudah terlalu dalam menyakitinya, tapi Raisa ya Raisa, cewek yang sejak kelas 11 naksir Andika hingga pada akhirnya berhasil menjadi pacarnya ketika masuk universitas yang sama. Universitas Majalengka.
Dan sekarang berubah. Masalah-masalah kecil yang biasanya hanya di anggap angin lalu oleh keduanya, kini berubah menjadi masalah kecil yang di besar-besarkan. Andika tidak seromantis dulu ketika awal-awal pacaran, Raisa bukan lagi prioritas. Rasanya, pacaran selama tiga tahun ini hanya sekedar buang-buang waktu percuma. Raisa kira, mereka akan berakhir bahagia seperti teman-temannya yang lain, ternyata hanya sebatas persinggahan sementara ketika hati cowok itu sedang lelah dan butuh teman.
Namun sulit bagi Raisa untuk membenci Andika. Karena Raisa memang bucin.
****
Seperti janjinya kemarin, Saka datang menjemput Raisa di jam 6 pagi untuk pergi ke kopi jebor Jatiwangi yang sebenarnya dapat di tempuh dengan 45 menit. Tapi Saka, ya Saka. Kadang teralalu rajin, kadang juga terlalu molor. Tergantung mood katanya.
"Lo ngapain si? Ini masih jam 6 loh Ka, gue belum apa-apa. Cucian baju masih nguer di mesin, cucian piring masih numpuk, nyapu belum, buang sampah belum, masak belum, mandi aja belum gue."
Saka menggaruk belakang kepalanya, cengengesan tak jelas, semakin membuat Raisa kesal.
"Takut lo nunggu lama sayang... Sekalian mau ketemu Bapak, boleh kan?"
Raisa mendengus pelan, berlalu masuk lagi ke dalam untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
"Emang lo gak ada urusan lain apa? Selesain dulu gih mumpung masih pagi."
Saka menggeleng pelan, menghempaskan tubuhnya pada sofa ruang tamu Raisa. "Urusan gue ya elo," ujarnya sembari menyalakan rokok yang sudah terselip di kedua jarinya.
Raisa mencibir, melengos pergi masuk kedalam. Pekerjaannya masih menumpuk, dia tidak punya banyak waktu untuk mengobrol ngalor-ngidul dengan Saka.
"Kalo mau kopi buat sendiri, kalo mau sarapan gabung aja sama Bapak di ruang makan."
Saka tersenyum tipis, memandangi punggung Raisa yang mulai menjauh darinya. Seandainya aja.... Seandainya, ia lebih dulu kenal dengan Raisa sebelum Andika. Dalam hatinya ia yakin, seribu persen... Kalau ia tak akan pernah menyia-nyiakan cewek seperti Raisa, karena Raisa beda. Ada sesuatu di dalam diri Raisa yang mampu menarik perhatian darinya, salah satunya adalah pola pikir cewek itu yang kelewat tua.
"Senyum terus, sampe melar tuh pipi."
Saka nyengir lebar, menggaruk belakangnya kepalanya. Canggung, malu.
"Suka ya sama Raisa?"
"Banget, banget, banget.... Kalo Saka sama Raisa, kira-kira Bapak setuju nggak?"
Bapak. Laki-laki 45 tahun itu tersenyum kecil, menghembuskan napasnya pelan. "Kalo Bapak sih silahkan aja, asal tau batasan ya kalo pacaran.... Dan selama 21 tahun Bapak rawat Raisa, Bapak selalu berusaha buat gak nyakitin dia, fisik atau pun mental. Dia itu anak kebanggaan Bapak, Ka."
Saka mengangguk paham, mematikan rokoknya yang sudah setengah itu ke dalam asbak di atas meja. "Saka gak bisa janji buat selalu ada di samping Raisa. Saka juga gak bisa janji gak akan nyakitin Raisa. Tapi, sejak pertama kenal sama Raisa, ada sesuatu yang buat Saka ngerasa harus ada terus buat Raisa. Ada sesuatu yang buat Saka ingin selalu jaga Raisa, Pak."
"Nanti kalo Saka nyakitin Raisa terlalu berlebihan, Bapak boleh turun tangan. Terserah Bapak mau apakan Saka."
Bapak menepuk pundak Saka dua kali, menatap intens pada teman cowok anaknya itu.
"Raisa itu berlian buat Bapak, kalau nanti sudah waktunya tolong jaga baik-baik berlian Bapak ya, Ka. Kalau mau tau, sebenarnya Raisa memiliki trauma, tolong bantu sembuhkan ya."
Saka mengangguk, meskipun pertanyaan-pertanyaan yang sejak tadi hinggap di kepala harus di paksa masuk lagi ke dalam dada.
"Jadi gue di restuin nih?"
"Kalo Bapak tau anaknya di sakitin sama Andika, bakal gimana nasib tuh cowok?"
"Raisa, punya trauma apa Pak?"
Ya, pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa ia telan kembali dan di masukkan ke dalam dada lagi. Hatinya penuh harap, semoga kelak ia mengetahui trauma yang di derita Raisa. Semoga Raisa cepat putus dari Andika. Semoga Bapak selalu berpihak padanya.
Karena Raisa ya Raisa. Cewek yang mudah di dekati namun sulit untuk di miliki.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang (On Going)
Teen FictionCinta pandangan pertama katanya. Tapi bagaimana jika cinta itu ternyata sudah ada yang memiliki? Bagaimana cemburunya ketika wajah itu sudah ada yang lebih dulu memandangi? Bagaimana caranya agar mata itu dapat memandangnya juga? Bagaimana? Duduk...