Sejak setengah jam yang lalu, Saka masih terus tersenyum manis, mengendarai motor Astreanya dengan kecepatan sangat pelan. Katanya, ada bidadari yang mesti di jaga di jok belakang. Padahal kalau lagi naik motor sendirian, Saka paling tidak suka kalau berlama-lama di jalan, naik motor, pelan, bikin punggung sakit, katanya.
Tapi kali ini beda. Demi melindungi si cantik di jok belakang, Saka rela melajukan motornya dengan pelan, paling nanti dia akan minta ke Bundanya untuk menempelkan koyo pada punggungnya karena pegal.
"Udah dong Ka, jangan senyum-senyum gitu... Serem tau."
Saka menghembuskan napasnya pelan, melirik ke arah spion motor hanya untuk melihat wajah manis Raisa.
"Gue kaget loh, lagi enak-enak makan bolu kukusnya Bunda tiba-tiba dapet notif Twitter elo. Agak kesel juga sih, kenapa harus foto itu sih yang lo post?"
Raisa mendaratkan dagunya pada pundak Saka, memeluk perut cowok itu dengan kencang. "Asal aja, gue lagi kesel sama Andika soalnya."
Andika lagi.
Sepertinya, telinga Saka alergi mendengar nama Andika. Buktinya saja, raut wajah cowok itu yang tadi berseri-seri berubah seketika menjadi muram. "Kenapa sama si bangsat?"
"Lo liat aja di tweet terbaru dia, mangkanya tadi gue iseng buat tweet foto elo. Yah... Ikutin permainan yang dia buat aja sih, meskipun hati gue super, super mencelos sakit banget."
Saka tertawa miris, meratapi nasibnya yang hanya mampu menjadi teman untuk Raisa. Padahal untuk mendekati Raisa sangat mudah, tapi untuk mendapatkannya begitu sulit.
Apalagi Raisa memang tipikal orang yang kalau sudah suka ya suka. Kalau sudah klop ya klop. Kalo sudah sama dia ya sama dia, meskipun setiap hari harus makan hati terus. Terkadang Saka berpikir, apakah Andika tidak mempunyai otak? Atau di dalam pikirannya selalu tertuju pada siapa yang cantik itu yang akan dia dekati. Sudut pandang Saka pada Andika sudah terlanjur negatif, susah untuk di rubah menjadi positif. Pertama kenal pun ketika ia sok-sokan menjadi pahlawan kesiangan untuk Raisa ketika cewek itu sedang bertengkar hebat dengan Andika di lahan parkir kampus.
Sedangkan sudut pandang Saka pada Raisa selalu positif, cewek judes yang sering sekali mengajaknya jajan cilok di alun-alun Majalengka, selalu berhasil membuatnya berdecak kagum dan jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Udah sampe Sa. Abis ini lo langsung bersih-bersih terus makan, abis itu langsung istirahat ya. Jangan banyak begadang, gue tau banget lo gak bisa begadang."
Raisa mengernyit bingung. Ko tiba-tiba?
Ko tiba-tiba, Saka berbicara sedikit ketus padanya? Tanpa senyum, tanpa wajah narsisnya dia, dan tanpa panggilan kesayangan ala-alanya. Seperti... "Raisa sayang istirahat ya, cinta ku..., Buna-nya anak-anak..."
Saka kenapa?
"Ka, lo... Ada masalah?"
Saka menggeleng dengan senyuman kecil di bibirnya. "Nggak, gue cuma lagi cemburu aja sama angin. Ko bisa-bisanya sih dia ngacak-ngacak rambut elo tanpa tau malu?"
Raisa mengulum bibirnya ke dalam, menatap kedua mata coklat gelap Saka di gulita malam.
"Yaudah gue balik ya, besok malam gue jemput elo buat tahun baruan di alun-alun. Semoga gak hujan sih."
Raisa menatap kepergian motor Saka dengan sejuta pertanyaan di dalam kepala. Cewek itu sadar dengan sikap yang tunjukkan Saka, malam ini, ketika perjalanan pulang, Raisa merasa kehilangan banyolan konyol dari seorang Gibran Saka.
"Saka kenapa?"
Pertanyaan yang hanya mampu ia telan kembali.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang (On Going)
Ficção AdolescenteCinta pandangan pertama katanya. Tapi bagaimana jika cinta itu ternyata sudah ada yang memiliki? Bagaimana cemburunya ketika wajah itu sudah ada yang lebih dulu memandangi? Bagaimana caranya agar mata itu dapat memandangnya juga? Bagaimana? Duduk...