Majalengka, 23 Januari 2023
"Ra... Sorry ya."
Raisa tersenyum kecil, menggenggam erat telapak tangan Andika yang tepat berada di atas meja, menatap lurus ke arah ke dua mata Andika, menyelaminya begitu dalam. Berharap ia masih bisa menemukan rasa cinta itu di dalamnya.
"Nggak apa-apa Andika, aku udah pernah bilang. Aku di sini hanya sebagai pacar, aku nggak ada hak buat nuntut kamu harus seperti apa dan bagaiman. Tapi aku juga pernah bilang sama kamu kan, tolong hargai aku sebagai orang yang ada di sisi hati kamu, meski bukan sepenuhnya milikku tapi setidaknya ada setitik rasa di dalam sana. Tolong jaga perasaan ku, karena aku mudah sakit hati."
Raisa menghembuskan napasnya pelan, senyuman kembali terukir. "Kalo kamu bosan, kamu bilang. Kalau cinta itu sudah hilang, kamu juga bilang. Biar apa? Biar aku nggak berharap sama harapan kosong, biar aku sadar, biar aku nggak menunggu kamu pulang lagi, Andika."
Andika semakin merasa bersalah, selama ini yang selalu ada di sisinya hanya Raisa. Yang selalu menerima semua kurang dan lebihnya. Yang selalu sabar dengan sifatnya yang cenderung keras kepala dan angkuh. Yang selalu mendukung apa pun yang dia inginkan. Memberikan rumah untuknya pulang, memberikan peluk untuknya beristirahat.
Mengenal Raisa selama lima tahun ini, cukup membuatnya sedikit minder. Sedikit kurang percaya diri. Karena benar kata Andina, sahabat Raisa. "Laki-laki itu beruntung jika sudah berhasil mendapatkan hatinya. Laki-laki itu bodoh jika sudah menyiakannya."
Andika bodoh, karena sudah menyiakannya. Andika mudah sekali terkena rayuan cewek cantik di luar sana.
"Aku tau, Ra... Dulu, yang selalu ada di samping aku, kamu. Yang selalu menjadi suport sistem terbaik juga kamu. Tapi aku buta dengan rasa. Yang aku pikirkan hanya tentang gengsi, mangkannya kenapa selama satu tahun kita dekat dulu, aku nggak berani confres ke kamu tentang rasa itu. Karena aku mikirnya, aku hanya sekedar kagum sama kamu dan aku hanya sebatas nyaman cerita banyak hal sama kamu. Dan kamu pun, bersikap lebih dewasa dari pada aku. Mangkannya kenapa aku bilang ke Indira kalau aku cuma anggap kamu sebagai Kakak. Karena aku takut salah mendefinisikan rasa itu, Ra."
Rasanya Raisa ingin menangis saat itu juga. Sosok laki-laki yang selama ini ia rindukan, yang selama ini tunggu kepulangannya. Hari ini, di siang menuju sore tahun baru, Andika pulang. Menemani satu harinya, bercerita banyak tentang apa pun itu padanya. Seperti dulu ketika ia dan Andika masih duduk di kelas 12. Menjauh untuk berpikir.
"Andika sebenernya gak mau kehilangan elo, Sa. Mangkannya kenapa dia anggap lo sebagai Kakak. Lo tau gak, pas dia bilang kalau lo cuma di anggap Kakak?" Indira bercerita, di dalam kelas ketika jam kosong di hari selasa. Bangku pojok paling belakang di sebelah kanan adalah tempat kekuasaannya, bangku yang sering di rebutkan oleh Andika dan Indira.
"Katanya, kalo kalian jadian, punya masalah yang emang gak bisa di selesaikan dengan cara damai. Maka kemungkinan akan ada kata putus. Abis putus apa? Biasanya kan kalo udah jadi mantan malah kayak saling gak kenal, kayak jadi orang asing lagi, padahal dulu pernah sayang-sayangan," jelasnya, yang tentunya sedang di dengarkan secara seksama oleh Raisa, Elina juga Andina.
"Nah, sedangkan kalau sebagai Kakak nih ya. Kalian sodara. Katanya, kalau sodara gak bakal ada kata pisah, kalau sodara gak bakal ada kata 'orang asing'. Intinya yang gue dapet, dia pengen deket terus sama lo, mangkannya kenapa dia bilang ' gue cuma anggap dia sebagai Kakak."
Raisa melihat linangan air di kedua mata Andika, sepertinya emosional cowok itu sedang tinggi-tingginya. Tapi tidak apa, justru hal seperti ini lah yang Raisa rindukan dari Andika.
"Aku sadar banget aku banyak salah sama kamu, Ra. Kamu sakit hati ya? Kamu boleh benci aku semau kamu, kamu boleh pukul aku kalo kamu mau. Kamu boleh nampar aku juga, Ra. Aku minta maaf, selama ini aku sibuk cari rumah yang bagus padahal sudah ada rumah yang nyaman. Maaf, maaf, maaf .... Tolong jangan pergi ya, Ra."
Menghembuskan napasnya berat. Sepertinya ia hari ini cukup menjadi hari terbaik untuknya dan Andika. Saling mengevaluasi diri masing-masing, saling meminta maaf dan memberi maaf, saling percaya dan mengerti perasaan pasangannya.
Bagi Raisa, memberi maaf untuk Andika mudah. Tapi untuk mengobati rasa sakit hati itu yang cukup sulit. Dia tidak membenci Andika, dia hanya kecewa dengan cowok itu yang jelas-jelas sudah hampir membuat rasa percayanya habis. Kalau di bandingkan dengan Saka, jelas Andika ada di urutan terbawah. Cowok itu kalah banyak dengan Saka.
Pengertian, baik, humoris, kadang kalo lagi serius sering nyeleneh, dan itu yang membuat Raisa merasa nyaman berada di samping cowok urak-urakkan itu.
"Nggak apa-apa, Dik. Semua orang pernah berbuat salah, manusia gak pernah luput dari kesalahan. Mungkin dengan kejadian ini kita seharusnya belajar untuk memahami perasaan pasangan. Aku tau kamu udah lama, aku paham sama pribadi kamu yang keras kepala, angkuh, gengsian lagi. Tapi aku tau hati kamu sebenarnya lembut. Ketika orang lain lihat keburukan kamu, tapi yang aku lihat semua kebaikan kamu. Ketika orang lain bilang kamu gak pantes buat aku, tapi aku bilang sama mereka kalo pantas atau tidaknya bukan suatu masalah untuk dua hati yang saling mencinta. Right?"
Andika mengangguk, membenarkan.
Raisa menghembuskan napasnya lagi, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku, kamu, kita. Ada di keadaan yang sama. Keluarga aku, keluarga kamu, sama-sama hancur. Aku punya trauma sama hubungan dan komitmen, kamu pun begitu. Tapi diri kita, masing-masing sudah berhasil melawan trauma itu hingga akhirnya muncullah sebuah kepercayaan. Aku percaya sama kamu, Dika. Aku percaya kamu akan menjadi sumber bahagia aku. Aku titipkan hati ini sama kamu, dari dulu, dari awal aku mulai menaruh hati sama kamu."
***
Sedangkan di tempat lain, Saka menghembuskan napas lega kala mendapatkan notif balasan WhatsApp dari sang pujaan hati yang kini masih milik orang lain itu. Raisa.
"Iyah Ka..."
"Gak tau deh, gue lagi sama Andika nih."
Dan seketika senyuman yang sedari tadi mengembang di wajahnya pun memudar dengan perlahan. Ingin rasanya ia memaki dirinya sendiri karena terlalu berharap berlebihan pada Raisa.
"Bego... Udah tau doi masih bucin sama pacarnya, masih aja ngarep.... Prihatin banget gue sama lo, Gibran Saka."
Saka mengacak-acak rambut gondrongnya gemas. Kenapa bisa ia menjatuhkan hati pada seseorang yang jelas-jelas sudah mempunyai pacar, bahkan sejak awal ia kenal pun gadis itu sudah mempunyai pacar.
Andika Huda Pebrian.
Cowok yang ia ketahui bernama Andika, cowok yang katanya kekasih Raisa sejak tiga tahun lalu.
Sial!
Seharusnya sejak dulu ia jangan terlalu dekat dengan Raisa, kalau kayak gini kan dia sendiri yang repot.
Jadi sekarang Saka harus bagaimana? Rebut pacar orang? Bukan Saka banget. Biasanya dia yang menjadi rebutan, kenapa sekarang dia yang menjadi perebut?
"Ya Allah... Kalo Raisa memang jodoh hamba, jodohkanlah, tapi kalo bukan gak apa-apa jodohin aja siapa tau memang beneran jodoh. Kalo bukan Raisa, di ganti sama Mamanya Gempi maunya. Aamiin..."
Dasar Saka. Gak malu di liatin Malaikat? Pasti para Malaikat pun langsung menertawakan manusia satu itu. Sholat jarang giliran doa mintanya maksa. Huh ....
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Sudut Pandang (On Going)
Novela JuvenilCinta pandangan pertama katanya. Tapi bagaimana jika cinta itu ternyata sudah ada yang memiliki? Bagaimana cemburunya ketika wajah itu sudah ada yang lebih dulu memandangi? Bagaimana caranya agar mata itu dapat memandangnya juga? Bagaimana? Duduk...