Painful fact

70 19 0
                                    

Jakarta, 2019

"Mau cari buku apa di Blok M?"

"Sebenarnya nggak pengen beli buku, tapi nyium aroma buku nya itu, loh, enak bangeeet!" Iqbaal terkekeh, merusak pucuk rambutku. Kalau seperti ini aku jadi tidak yakin Iqbaal benar-benar mempermainkan ku. Meskipun agak berubah, Iqbaal tetap manis.

"Kemaren ngomongin apa aja sama Marvel?" Aku berusaha mencari omongan mana yang tidak seputar Iqbaal waktu itu. Tapi sepertinya hampir semuanya tentang Iqbaal.

"Banyak sih, tapi.. Iqbaal Iqbaal, gue mau nanya. Jawab jujur jangan marah."

"Apa?" Wajahnya tampak serius, dan sedikit di dekatkan ke arahku. Kalau begini jantungku bisa lari kapan saja dan menyusuri lantai-lantai Blok M. "Tasya anak OSIS itu... Beneran mantan lo?"

Iqbaal terdiam beberapa saat, sampai kemudian anak itu menghela nafas, "iya waktu SMP. Gue juga terpaksa pacaran sama dia. Kayaknya juga nggak sampek sebulan." Aku memiringkan kepala, menatap Iqbaal dari samping. "Kenapa? Karena kalah main ToD?"

"Anjir Marvel bilang apa aja, sih, ke elo?"

"Eh gue ngarang! Marvel aja nggak bilang alasan lo pacaran sama Tasya!" Mata Iqbaal menyipit. "Kok bisa bener kalo ngarang?"

"Selain alasan klasik, gue juga pacar lo ngarang aja bener." Iqbaal terkekeh, "iya iyaaaa mbak pacar."

"Karena itu Tasya ngejar-ngejar lo sampek sekarang karena dia merasa kalo kalian belum selesai. Dia merasa perlu memperbaiki hubungan sama lo." Iqbaal mengulum bibir. Membasahi bibirnya yang kering. "Iya, gue risih jujur. Lo tahu alasan dia masuk OSIS juga karena pingin balik sama gue. Sampai dulu pas ospek OSIS, kak Rico marah dan hampir ngeluarin gue dari OSIS karena alasan Tasya pingin masuk OSIS. Dia juga nyuruh Kirana buat berantem sama lo waktu itu, maaf banget, ya, Ra? Gue bakal jaga lo mulai sekarang." Aku tersenyum. Aku suka kalau Iqbaal lebih terbuka padaku, meskipun harus aku pancing dulu. Tidak apa, hubungan kami memang masih baru, banyak yang harus di evaluasi.

"Mau es krim di lantas atas, Baal. Kata adek gue enak banget. Gue jadi pengen." Bukannya naik eskalator, Iqbaal justru mengulurkan tangannya. "Mau minta duit?" Tanyaku. Iqbaal tertawa.

Tangannya terulur untuk menggandeng tangan kiri ku yang tidak memegang handphone. "Nggak mau di gandeng, nih?" Aku tersenyum kemudian melangkah lebih dulu dan menarik Iqbaal.

Kalau seperti ini, aku yakin perasaanku sepenuhnya untuk Iqbaal. Untuk, Iqbaal.

-

Sejak dahulu, aku selalu suka quality time. Entah itu sendiri atau bersama orang-orang terdekat ku.

Orang-orang terdekat termasuk Iqbaal. Karena dia pacarku sekarang.

Setelah kami menyusuri tiap lantai di Blok M, selama hampir empat jam, Iqbaal di telepon oleh seseorang. Wajahnya terlihat panik.

Aku duduk dan memeluk barang-barang belanjaan ku sambil menatap Iqbaal dari kejauhan.

Telepon sepertinya sudah selesai, Iqbaal memasukan handphonenya ke dalam saku celana. Kemudian menghampiri ku yang pura-pura bermain handphone.

"Ra, gue minta maaf banget tapi gue buru-buru. Ada urusan mendadak sekarang, lo bisa pulang sendiri? Naik taksi, nanti gue bayarin ongkosnya."

BUKAN MASALAH ONGKOSNYA ANJIR! Duit gue banyak, gue bisa naik taksi keliling Jakarta dan bayar pake duit gue sendiri.

C, Love Story: The Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang