Cari yang agresif, Vel

75 20 2
                                    


Jakarta, 2019

Sudah seminggu setelah kejadian itu, tapi sepertinya baik Iqbaal maupun Abhim masih enggan berbaikan, mungkin.. dari Iqbaal sudah berusaha, tapi tidak ada yang bisa menentang keras kepala Abhim.

Seminggu lalu, ruang BK terasa lebih menyeramkan di banding biasanya. Wajah-wajah para guru kesiswaan terlihat sangat mengadili. Aku yang menjadi penyebab masalah ini malah tidak di kenai hukuman apa-apa. Baik Iqbaal maupun Abhim tidak menyeret namaku sama sekali, mereka malah membuat alibi kalau Iqbaal menghapus tugas Abhim yang deadline besok.

Mereka di hukum membersihkan halaman masjid sekolah.

"Kalian!" Aku memanggil keduanya. Setelah sholat ashar aku langsung menghampiri keduanya yang sepertinya tengah berdebat kecil. "Nih, minum."

"Makasih." Ujar Iqbaal. "Lo kok belum pulang?" Abhim masih berusaha membuka botolnya. Karena tak kunjung terbuka Iqbaal menyahut dan membukanya dalam sekali putaran. Mareka kembali bertatap malas.

"Ini mau otw." Jawabku.

"Gue anterin."/"Gue anterin." kedua laki-laki menoleh dengan pandangan sengit.

"Apaan, sih."

"Apaan, sih." Abhim melotot. "Tuhhh 'kan emang aslinya elo yang ngikutin gue."

"Itu reflek anjir."

"Reflek apaan jelas-jelas lo-"

"Et, udah, udah. Jangan berantem! Kalian lanjutin aja nyapu nya. Gue pulang sama Marvel."

"Marvel?" Aku menatap Iqbaal. "Bukannya dulu lo nyuruh gue pulang sama Marvel?" Aku tersenyum miring kemudian menepuk pundak Iqbaal dua kali. "Duluan, ya! Semangat!"

Sesampainya di parkiran aku menemukan Marvel yang tengah memasang helm. "Eh, udah selesai?" Aku mengangguk kemudian memasang helm juga. "Lo turunin gue di perempatan aja, Vel. Kejauhan soalnya."

"Gapapa elah. Atau biar adil gimana kalo di Indomaret kayak dulu?" Aku tersenyum. "Boleh! Gue mau beli Kinderjoy juga deh." Marvel langsung menoleh. "Lo punya ponakan?"

"Punya, tapi Kinderjoy nya mau gue makan sendiri." Marvel terkekeh. "Ayoooo buruan, gue mau belii."

"Ini kayak gue jemput ponakan sekolah, deh."

"Emang iya, kan? Buruan, Om!" Marvel tertawa, bahkan tawa nya memenuhi lorong parkiran yang sudah sepi. "Serem, anjir, gue kek pedofil."

Marvel melajukan motornya untuk keluar dari area sekolah. "Gimana? Seru nggak FTV nya?"

"Sialan lo, edisi seminggu ngomong sama tembok ini sih." Aku tertawa. "Lo bayangi, Ra, mereka diem dieman seminggu, sebenarnya Iqbaal udah usaha buat ngomong sama Abhim, sih, tapi Abhim ngehindar banget. Lama-lama Iqbaal kesel juga."

"Gue masih nggak enak sama mereka. Padahal gue penyebabnya tapi mereka nggak nyeret gue sama sekali." Jawabku. Aku menghela nafas di balik masker yang ku kenakan. Menghirup udara Jakarta sore hari sangat tidak sehat.

"Mata Iqbaal kelihatan banget kalo nyesel." Kataku.

"Gue juga lihat." Aku dan Marvel tidak berbicara sampai kami benar-benar di depan Indomaret. "Lo beneran mau jalan kaki? Lo bawa laptop, loh, berat, gue anterin ya?"

Aku menggeleng. "Bisa, Veeel, lo kalo perhatian banget sama gue nanti istilah, 'gak oleh de'e, koncone yo oke' beneran kejadian, loh." Marvel langsung mendongak. "Ya gapapa. Gue juga gak ada pawang."

"Gue cariin, deh." Marvel tertawa sampai matanya ikut tersenyum. "Boleh, deh, yang agak agresif kayak lo kalo bisa."

"Gue ada yang lebih agresif lagi, tauuu!"

C, Love Story: The Prolog Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang