"Aa? Jadi kapan bisa pulang ke Bandung?."
Dafka memilih bungkam, diam tidak tahu harus menjawab apa, karena jawaban yang ingin ia keluarkan pastinya dapat menyakiti perasaan ibu tirinya.
"Masih belum bisa ya? Gapapa, Mama ngerti kok."
"Maafin Mama ya, masih belum bisa jadi ibu yang baik buat kamu."
Setelah mendengar perkataan dari ibu tirinya di seberang telepon sana, Dafka sudah menundukkan kepala, menatap kaki tanpa alas yang tengah berpijak dilantai itu.
"Nggak, Ma." Dafka memberi jeda. Mencoba merangkai kata-kata yang sekiranya cocok untuk ia katakan kepada Sandra, ibu tirinya.
"Mama udah jadi Mama yang baik buat Dafka, tapi maaf hati Dafka masih keras, Ma." terdengar hela nafas panjang di seberang sana begitu Dafka selesai mengucapkannya.
"Dafka.."
"Tapi, Ma-" Lagi-lagi ucapan Dafka terjeda. Kali ini dirinya menghela nafas berat sebelum kembali melanjutkan. "Buat pulang ke Bandung, besok Dafka bakal pulang, Ma."
"A.. kamu serius?."
"Iya, Ma, Dafka pulang.." Lalu yang terdengar berikutnya adalah suara bahagia Sandra yang mengatakan akan memasak makanan kesukaan Dafka, dan berkata untuk berhati-hati diperjalanan nanti sebelum akhirnya Dafka mematikan telepon yang menghubungkan mereka.
"Maaf, kalau pulang Dafka bakal bawa kecewa buat kalian di sana.." Kali ini Dafka membiarkan air mata membasahi pipinya, tidak seperti hari-hari kemarin yang selalu coba dia tahan. Kemudian matanya yang basah menatap ke arah tengah ranjang yang sedang ia duduki sisinya. Dan hal yang beberapa hari ini mengacaukan pikirannya semakin membentuk lubang penyesalan. Membuat Dafka berakhir memukuli kepalanya sendiri dengan keras.
"Gila, lo, gila.."
***
Pagi-pagi sekali Dafka sudah dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Mengendarai mobilnya dengan kelopak mata menghitam sebab kurangnya jam tidur beberapa hari kemarin. Hingga beberapa lama kemudian Dafka sampai di salah satu rumah yang terbilang cukup mewah.
"Nak Dafka!?." Dafka hanya tersenyum tipis saat tukang kebun di rumah Ayahnya menyebut namanya dengan raut wajah antusias dari balik pagar.
"Apa kabar, pak?." tanya Dafka.
"Alhamdulillah damang, nak Dafka kumaha damang?."
"Damang, pak." Jawab Dafka membuat senyum lega terlihat di wajah pak Mulki, nama dari tukang kebun di rumahnya yang sudah bekerja sejak Dafka masih di taman kanak-kanak.
"Punten pak, tolong bukain gerbangnya ya? Dafka mau masuk." Sesaat Dafka selesai mengatakannya pak Mulki langsung menepuk jidat.
"Oh enya hilap duh." Katanya yang lantas buru-buru membuka gerbang rumah. Sementara Dafka hanya tersenyum samar, lalu kembali beranjak ke mobilnya, untuk membawanya masuk ke halaman rumah.
***
Dafka tidak terlalu mengingat kapan terakhir kali dirinya pulang ke rumah yang sudah menjadi saksi dirinya tumbuh dari sejak dalam kandungan ibunya hingga usianya menginjak remaja, tapi kalau tidak salah sejak lulus sekolah menengah atas, dan memutuskan untuk kuliah dan tinggal sendiri di Jakarta. Ia hanya mengingat dirinya pernah pulang sekali, untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal.
Mungkin hampir dua tahun berlalu.
Dan Dafka tidak tahu bahwa ia akan segugup ini saat langkah kaki membawanya masuk ke dalam rumah, matanya secara refleks melihat sekitar, dimana nuansa rumah yang sama sekali tidak banyak berubah membuatnya tanpa sadar tersenyum. Hingga matanya berakhir bersirobok dengan seseorang yang berdiri di anak tangga paling atas, menatapnya dengan sedikit terkejut. Saling terdiam selama beberapa detik, sebelum senyuman lebar muncul di wajah orang itu disusul langkah kaki pelan yang perlahan menjadi cepat lalu sebuah pelukan hangat di dapat Dafka. Pelukan yang membuat tubuhnya seketika terasa kaku. Dengan tangan menggantung gamang. Sampai sebuah suara dari orang yang tengah memeluknya itu terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD LIFE | DOYOUNG NCT
Teen Fiction______________________________________________________ Sejak dulu, tidak ada yang berubah tentang bagaimana Dafka menatap Giandra. Perihal perasaannya yang masih juga tak tersampaikan kepada perempuan itu, dan perihal Giandra yang juga masih milik d...