| 11. BAD LIFE |

21 3 1
                                    

Sejak tiba di Puncak Bintang beberapa menit lalu, serta membeli karcis dengan harga lima belas ribu perorang sebagai tiket masuk, keempatnya berjalan selama beberapa saat untuk sampai ke tempat di mana mereka bisa melihat indahnya kota Bandung dengan lampu yang mulai menyala dari rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung tinggi, tempatnya tepat berada di atas Puncak Bintang.

Dafka tidak berbohong, jika hatinya terasa sedikit tenang dengan pandangan terarah ke depan sana, meskipun banyak pengunjung lain yang juga berada di lokasi yang sama hingga menghasilkan suara-suara saling bersahutan. Dafka sama sekali tidak terusik.

Sampai sang Ayah yang berdiri di sampingnya menyentuh pundaknya pelan. Menegur Dafka dari lamunan serta kenyamanannya beberapa detik lalu.

"Asik sendiri ya?." ujar Danu dan Dafka hanya tersenyum tipis.

"Iya Pa, soalnya nyaman melamun disini." balas Dafka membuat Danu menggelengkan kepalanya.

"Hustt, kamu ini sembarangan. Kalau kesurupan gimana? Jangan suka melamun gitu. Pikiran jangan sampai kosong."

Dafka menanggapi dengan tawa pelan. "Bercanda kok, Pa. Dafka suka aja liat pemandangannya, bikin tenang."

"Memangnya kamu biasanya nggak tenang?." pertanyaan telak dari Danu membuat Dafka meringis menatap Ayahnya.

"Bukannya gitu, Pa. Tapi namanya juga manusia kan butuh ketenangan."

"Betul—"

"—tapi di dunia mana ada yang namanya ketenangan, pasti selalu ada saja yang membelenggu sampai-sampai membuat kepikiran."

Dafka mengangguk setuju, bibirnya terkulum mengumpulkan kalimat yang bersarang di kepalanya sejak sampai di Bandung.

"Pa, setelah pulang dari sini, ada waktu? Ada yang mau Dafka bicarakan sama Papa."

Bibir Danu tertarik membentuk sebuah senyum menyejukkan untuk anak laki-lakinya. "Ada, tentu Papa selalu punya waktu buat anak-anak Papa."

Dafka ikut mengangkat sedikit sudut bibirnya, walau dalam hati merasa menyesal dengan apa yang akan ia bicarakan nantinya. Tetapi untung saja, suara Hema yang menyapa gendang telinga mereka, membuat Dafka sedikit terbebas untuk sementara atas pikiran kacaunya.

"Pa, A Dafka, ayo foto bareng." Beberapa langkah di depan sana ada Hema dan juga Sandra yang sedang tersenyum senang, senyum yang ikut menular kepada Dafka apalagi Danu yang langsung mengajak Dafka menghampiri kedua orang itu.

"Ayo, kamu mau kan?." Kali ini Dafka dibuat tak susah, ia langsung mengangguk mengabaikan egonya yang seringkali memberontak.

Dengan meminta bantuan pengunjung lain di sana, satu buah foto berhasil di dapatkan, yang akan terpajang dengan indah menghiasi rumah mereka nanti.

***

Sudah sekitar satu jam berlalu sejak Dafka dan ketiga anggota keluarganya sampai di rumah. Dan setelah membersihkan diri, Dafka memutuskan untuk menghampiri Danu yang tengah menonton tayangan berita di televisi seorang diri, sementara Sandra, ibu tirinya itu sudah beralih ke kamar untuk beristirahat, sedangkan Hema yang berpamitan untuk membersihkan diri mengatakan bahwa dirinya juga akan sekaligus mengerjakan pekerjaan rumah yang belum sempat diselesaikan dan besok harus segera di kumpulkan.

Dafka duduk di samping Ayahnya itu, ikut menyaksikan berita yang sedang ditayangkan. Namun, nyatanya isi pikiran Dafka tidak berada di sana, karena saat ini otaknya justru sedang berpikir keras untuk memulai pembicaraan dengan Danu sebagaimana tujuan awalnya.

"Oh iya, bukannya ada yang mau kamu bicarakan?." Mendapat pertanyaan dari Danu, membuat Dafka tersentak kaget, yang mana kini Danu menggelengkan kepalanya lalu menepuk pundak Dafka pelan.

BAD LIFE | DOYOUNG NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang