| 10. BAD LIFE |

14 1 0
                                    

Dafka menginjakkan kakinya di lantai kamar Hema, setelah sekitar setengah jam lalu, begitu makan siang selesai, Hema mengajaknya untuk bermain game bersama. Dafka tidak menolak, dengan begitu ia berikan Hema anggukan hingga dirinya kini melihat senyum cerah Hema terpampang di wajah adik tirinya itu.

Hema mempersilahkannya masuk, meminta agar Dafka mau menunggu dengan mendudukkan bokongnya di atas karpet samping tempat tidur. Sementara anak itu sendiri tengah menyiapkan game yang akan mereka mainkan, lalu tidak lama kemudian menyerahkan kepada Dafka satu stik PS, yang langsung Dafka terima.

"Mulai ya, A." kata Hema, dan Dafka hanya mengiyakan.

Dan yang terjadi selanjutnya hanyalah suara-suara yang berasal dari game yang mereka mainkan, mata keduanya fokus memandang layar di depan sana, dengan jari-jari yang bergerak lincah di atas stik PS. Hingga waktu yang mereka gunakan untuk bermain game tidak terasa sama sekali sudah berlalu begitu cepat. Tentunya dengan di menangi oleh Hema, karena jujur saja Dafka tidak terlalu jago dalam bermain game, berbeda dengan Hema yang sudah pro.

"Yes! Aku menang!." Hema berseru senang, lalu kepalanya menoleh ke arah Dafka dengan cengiran khas seorang Hema. Dan Dafka yang mengerti arti tatapan Hema hanya mampu mengiyakan.

"Oke-oke, mau apa?." tanya Dafka, diingatkan kembali soal perjanjian yang Hema katakan saat di meja makan tadi setelah menyelesaikan suapan terakhir.

Perjanjian jika Hema atau Dafka memenangkan game yang mereka mainkan, yang kalah harus mengikuti keinginan si pemenang. Dan sayangnya kemenangan Dafka begitu nihil dan menghadirkan Hema sebagai pemenang.

"Aku mau ke Puncak Bintang, A. Terakhir kali kita ke sana udah lama."

Permintaan Hema mengingatkan Dafka kapan terakhir ia ke Puncak Bintang, tentunya dengan Hema. Mungkin kalau tidak salah, seingatnya-sudah hampir dua tahun terlewatkan, karena saat sebelum memutuskan untuk menempuh pendidikan di Jakarta, Dafka sempat mengajak Hema ke sana sebagai permintaan Hema yang sulit untuk mengikhlaskannya pergi ke Jakarta. Ingatan itu juga berhasil membawa kenangan lama, tentang bagaimana kedekatan mereka dulu yang akan membuat orang-orang di sekitar mereka beranggapan jika kedua orang ini adalah saudara kandung, walaupun semakin beranjak dewasa dan memutuskan untuk hidup sendiri di Jakarta, Dafka perlahan mulai menjauhkan diri dari Ayah dan ibu tirinya, begitu pula Hema-karena di pikiran dan hati Dafka tertanam begitu jelas sosok ibunya yang takut tak bisa lagi ia ingat dengan baik jika terlalu mendekat akan sosok Sandra yang kini berperan sebagai ibu yang begitu sangat amat baik.

"Ya udah, ayo. Mau kapan?." Dafka setuju, yang sontak saja membuat senyum Hema semakin lebar.

"Serius? Kalau hari ini gimana?."

"Sekarang?." tanya Dafka mendapat anggukan dari Hema.

"Ya udah ayo."

"Misalkan kalau ajak Papa sama Mama boleh, A?." permintaan Hema dengan nada terdengar ragu itu setidaknya berhasil membuat Dafka terdiam beberapa detik, sebelum lelaki itu terlihat mengulum bibirnya lalu menjawab dengan senyum tipis-atau senyum yang sedikit dipaksakan.

"Boleh." mendengar jawaban Dafka, tidak akan Hema sia-siakan-walaupun ada perasaan sedikit tidak enak-ia tetap bangkit berdiri dengan senyum yang seolah tidak lepas dari wajahnya.

"Kalau gitu aku kasih tau Mama Papa dulu ya? Biar mereka siap-siap." Dengan begitu, Hema melesat pergi keluar dari kamarnya serta meninggalkan Dafka dengan helaan nafas panjang, namun tidak lama dari itu Dafka memutuskan untuk bangkit, berjalan ke arah kamarnya yang berada di samping kamar Hema untuk juga bersiap-siap.

Mungkin untuk acara pergi bersama kali ini, Dafka dibuat sulit jika harus menganggap Hema sebagai temannya saja-bukan seorang adik dari ibu tirinya-seperti yang biasa dulu ia tekankan. Dan mungkin saja dirinya kali ini harus sedikit mengalah, menipiskan sedikit ego untuk hal yang terlihat manis-sebuah keluarga harmonis.

BAD LIFE | DOYOUNG NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang