Malam ini juga Dafka benar-benar memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Tidak ada niat sedikit pun untuk sekedar menunggu hingga besok pagi. Keputusannya sudah bulat, setelah kembali nanti ia harus bertemu dengan Giandra bagaimanapun caranya. Mereka harus bicara, entah mau Giandra apapun itu akan Dafka turuti, bahkan jika perempuan itu melaporkannya ke kantor polisi Dafka sama sekali tidak masalah.
Dafka melangkah cepat menuruni anak tangga dengan membawa tas berisi barang-barang yang sempat dibawanya dari Jakarta. Mengeluarkan mobilnya dari garasi rumah dengan terburu-buru, ia tidak mau Sandra ataupun Hema memergokinya, karena Dafka sadar diri, jika sedang dalam kondisi kalut, ia bisa saja mengeluarkan perkataan tidak mengenakkan tentang apapun itu. Bahkan saat suara dari Hema yang memanggil namanya, Dafka memilih abai dengan menjalankan mobilnya keluar dari gerbang rumah dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Meninggalkan Hema yang menatap kepergiannya dengan nanar. Diikuti dibelakangnya Sandra yang baru saja keluar dari pintu rumah, menepuk pelan pundak anak laki-lakinya itu. Hingga Hema layangkan tatapan pedih kepada sang ibu.
"Ayo masuk, kita tenangin dulu Papa mu, ya?." Hema menggeleng, menolak ajakan Sandra dengan senyum sumir di wajahnya.
"Dia bukan Papa Hema, Ma. Papa Hema itu udah mati. Yang di dalam sana itu Papa nya A Dafka, yang masih nangisin istrinya. Apa Mama nggak capek? Hema aja capek, Ma. Hema terima kematian Papa, dan terima keluarga baru kita, tapi A Dafka? Sampai saat ini aja perilakunya nggak menunjukkan kalau dia terima kita sebagai keluarganya. A Dafka egois, Ma. Yang dia lihat cuma lukanya sendiri." Sandra meremat pundak Hema, meminta agar anaknya itu tak perlu melanjutkan semua perkataannya yang hanya akan berakhir duka. Namun Hema menolak, ia pandang ke depan sana, di mana mobil yang membawa Dafka sudah tak terlihat.
"A Dafka jahat, karena yang A Dafka lihat itu cuma bagaimana cara Mama datang, bukan dari cara Mama memperlakukan A Dafka selama ini." Hema melepaskan tangan sang ibu dari pundaknya, membawa kakinya melangkah masuk ke dalam rumah. Dengan perasaan terluka, diam-diam menyesal kenapa ia harus mendengar semua pembicaraan kakak tiri dan Ayah tirinya itu. Harusnya sejak ia mendengar suara tamparan itu, ia kembali memasuki kamar, mengurungkan niatnya untuk mengambil minum. Dan seharusnya, ibunya itu tidur saja, tidak perlu mencari Ayah tirinya karena khawatir tertidur di sofa. Maka mereka tidak akan merasa terluka karena ucapan-ucapan itu.
***
Sejak kembali dari Bandung dua hari lalu, Dafka masih juga belum bisa menepati ucapannya perihal menemui Giandra, untuk mengatakan segala hal yang mengganjal di hati serta luapan penyesalan yang semakin hari semakin membuat perasaannya kacau saja.
Seperti halnya sekarang, saat kakinya siap melangkah begitu sosok Giandra tertangkap indera penglihatannya, perempuan itu cepat-cepat berputar arah, menghindari eksistensi seorang Dafka yang kini mengejar langkah kakinya, membuat jantung Giandra berdegup lebih kencang serta keringat dingin yang mulai keluar dari tubuhnya. Giandra tidak akan berbohong, kehadiran Dafka semakin membayang-bayangi dirinya akan kejadian hari itu hingga menimbulkan perasaan trauma.
Dalam hati Giandra merutuk, saat tangan Dafka berhasil memegang pergelangan tangannya yang mana langsung Giandra tepis kasar. Tubuhnya yang sedikit bergetar berbalik menghadap Dafka. Matanya yang tampak sedikit memerah menjelaskan bagaimana Giandra takut, marah dan benci kepada sosok lelaki di depannya itu.
"Giandra—"
"M-mau lo apa? Mau lo apa brengsek?!." Keadaan kolidor yang lumayan sepi membuat Giandra tidak segan untuk memaki Dafka dengan nada cukup tinggi. Walaupun ada perasaan takut jika Dafka akan berbuat sesuatu yang buruk padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BAD LIFE | DOYOUNG NCT
Teen Fiction______________________________________________________ Sejak dulu, tidak ada yang berubah tentang bagaimana Dafka menatap Giandra. Perihal perasaannya yang masih juga tak tersampaikan kepada perempuan itu, dan perihal Giandra yang juga masih milik d...