1

31 2 2
                                    

Seorang gadis berambut hitam legam berlari dengan tergesa-gesa dari ruangan locker menuju lift yang hampir tertutup. Keringat tak berhenti bercucuran selama ia menunggu lift naik. Hanya satu lantai, tetapi rasanya seperti begitu lama. Dia menjadi orang pertama yang keluar dari lift begitu pintu lift terbuka, dan melesat menuju pintu belakang restoran utama.

Jam tangan menunjukkan pukul enam tepat ketika ia sampai di pantry. Dia mendekat pada papan manning dan melihat namanya ditempatkan sebagai pasukan belakang untuk memoles segala peralatan makan. Hari ini akan jadi pahlawan tanpa penghargaan lagi, begitu pikirnya.

“Ah, Adrianna, sudah datang, ya?” sapa seorang gadis berambut cokelat kepirangan yang terlihat beberapa tahun lebih tua darinya.

“Ya, Kapten Numaa.” Gadis yang hampir terlambat itu mengangguk. “Saya hampir terlambat, maafkan saya.”

“Tenang saja, hari ini sepi,” ujar Numaa sambil memasang handy talky yang menjadi jatahnya hari itu.

“Sungguh? Berapa pax?”

“Hanya dua ratus lima puluh.”

“Oh, syukurlah.”

“Kau lelah karena yang kemarin, ya?” Numaa tersenyum manis.

“Kemarin adalah hari pertama saya, dan saya sudah menghadapi acara pernikahan sebesar itu. Jujur saja, saya kelelahan, Kapten.” Adrianna meraih cloth dan sebuah piring, lalu mulai memoles.

“Itu juga terjadi pada hari pertamaku, dan hari pertama Madam Betty juga, tetapi kami bisa bertahan sampai akhir, dan akhirnya aku bisa menjabat sebagai Kapten. Ah, kau membuatku rindu padanya.” Numaa berbinar-binar sambil menatap cermin yang tergantung di dinding pantry.

“Yang mana Madam Betty itu?” tanya Adrianna sambil meletakkan piring yang sudah dipoles hingga terlihat mengilat.

“Dia sudah resign,” jawab Numaa sambil menebali lipstiknya.

“Kenapa?”

“Karena dia sudah menikah.”

“Jahat sekali suaminya yang tidak mengizinkannya bekerja lagi.”

“Oh, tidak, Sayang.” Numaa tertawa. “Dia memang hebat karena menjabat sebagai Kapten sebelum usia dua puluh satu, dan kurang dari setahun setelahnya sudah naik jabatan menjadi Assistant Manager. Tetapi dia memegang teguh kekeluargaan lebih dari apa pun! Dia berhenti atas keinginannya sendiri. Dia bilang demi fokus pada rumah tangganya. Ah, dia manis sekali. Ah, aku sayang sekali padanya. Apakah aku bisa mendapatkan jabatan tinggi dengan cepat seperti dia?”

Adrianna masih tersenyum karena perkataan Numaa ketika seorang anak lain datang.

“Adrianna, kenapa kau tersenyum sendiri?”

“Aku sedang bicara dengan Kapten Numaa, Elina.”

“Kapten Numaa tidak ada,” ujar Elina datar sambil menatap papan manning, “dan kurasa dia yang membuat tata letak semacam ini!” Elina menunjuk-nunjuk manning dengan emosi.

“Oh, dia sudah pergi dan meninggalkan kejengkelan untukmu, kurasa,” ucap Adrianna sambil tertawa kecil, “tetapi dia mempercayaimu untuk tampil di depan, setidaknya dandanan cantikmu tidak percuma.”

“Kalau kau mau, Adrianna Sayang,” sahut Elina seraya menarik napas, “kita bisa bertukar.”

“Dan membuat Kapten Numaa marah? Kau tahu, aku baru dua hari, sedangkan kau satu bulan, sudah pasti dia tahu jika aku belum memahami keadaan di depan seperti apa. Cepatlah keluar atau Pak Luke akan marah padamu.”

Chains & TiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang