15

4 3 0
                                    

Adrianna dan Elina sudah berada di restoran utama sekitar jam setengah enam pagi. Mereka ingin melihat keadaan restoran ketika masih sepi, tetapi ternyata anak-anak yang lebih senior dari mereka sudah berisik ke sana kemari dengan gosip.

“Pak Damian, ada apa?” tanya Elina pada salah satu juru masak.

“Ada yang bilang kalau Chef Adrianno jalan-jalan bersama seorang gadis kemarin,” jawab Damian.

“Lalu?”

“Ya, tidak apa-apa, lagipula Chef Adrianno itu masih lajang.”

“Dia masih lajang?” tanya Adrianna.

“Kalian tidak tahu?”

“Wah, wah, berita besar,” ujar Elina, “ini bisa jadi hari patah hati se-hotel.”

“Ih, siapa yang sudi patah hati gara-gara dia?” dengus Adrianna sambil menyingkir.

“Kapten Numaa, mungkin?” tebak Elina sambil mengikuti Adrianna.

“Apakah mungkin jika orang seperti Kapten Numaa menyukai orang seperti Chef Adrianno?”

“Apakah kau tidak tahu jika ketertarikan terbesar berasal dari perbedaan?”

“Omong kosong apa lagi itu, Elina?”

“Kau hanya belum paham. Cepatlah dewasa, Nak.”

“Kita seumuran, Kawan.”

***

Hedda memeriksa penginapannya, berjaga-jaga agar tidak satu pun kamar tampak kotor maupun kurang rapi. Meninggalkan rutinitasnya menyusuri pantai yang sudah amat familiar, dan kembali pada kehidupan yang menjemukan hanya demi bisa hidup.

“Hedda,” panggil Mia dari bawah ketika Hedda menyusuri tangga untuk turun setelah selesai memeriksa kamar-kamar.

“Ada apa?”

“Aku hanya berkunjung karena kebetulan bisa terbebas dari rutinitasku.” Mia tersenyum.

“Bukankah sangat menyedihkan?” Hedda turut tersenyum, “Kita bekerja untuk hidup, tetapi hidup kita habis hanya untuk bekerja.”

“Kurasa kau masih lebih baik karena lebih sering menghabiskan waktumu di pantai untuk melamun ketimbang mengurusi penginapan ini.”

“Aku sudah pernah mengalami yang lebih menjemukan dari ini,” Hedda mendengus, “dan aku jelas tidak ingin kembali ke dunia semacam itu.”

“Tetapi kau bilang anakmu terjun dalam dunia itu?”

“Ya,” Hedda mendengus sinis, “anak itu memilih diperbudak oleh hotel. Kurasa itu karena dia terlalu fanatik terhadap ayahnya.”

“Bagaimanapun juga, anakmu memang anak ayahnya, ‘kan?”

“Ya, aku tidak bisa menyalahkannya. Jika ia bisa bertahan dalam dunia semacam itu, beruntunglah ia.”

***

Numaa datang bersamaan dengan Adrianno sekitar jam tujuh pagi. Mereka tampak membicarakan sesuatu dengan lirih sehingga orang-orang yang berjalan di sekitar mereka tidak bisa menguping sama sekali.

Dua orang itu tampak mencolok karena baju mereka. Adrianno berseragam putih dengan apron putih pula, sedangkan Numaa memakai blous hijau muda yang tertutupi oleh jas hitam serta mengenakan celana panjang berwarna hitam pula. Tinggi badan Numaa begitu serasi ketika berjalan di samping Adrianno.

Numaa tampak mengangguk-angguk sebelum mereka berpisah karena Numaa harus berjaga di depan, sedangkan Adrianno memeriksa kinerja para juru masak di dapur.

Numaa segera mengambil handy talky dan memasangnya sambil menemani Elina yang berjaga di bagian kasir.

“Pak Pierre,” ujarnya ketika seorang pria yang juga berjas hitam mendatangi bagian kasir, “apakah benar jika Giovanni memutuskan untuk resign dalam waktu dekat?”

“Aku malah tidak tahu apa-apa,” jawab pria bernama Pierre itu.

“Kukira Anda tahu karena Anda adalah salah satu orang yang membuat jadwal masuk orang-orang service restoran utama,” kata Numaa lagi.

“Numaa, kau ada hubungan dengan Chef Adrianno?” tanya Pierre tanpa tedeng aling-aling, melenceng jauh dari topik sebelumnya.

“Hubungan macam apa?” Numaa bertanya balik.

“Ya, hubungan semacam pacar atau pendekatan, begitu?”

“Hal yang seperti itu tidak ada,” elak Numaa sembari menggeleng, “yang ada hanyalah kami berteman dan cukup sering mengobrol tentang keadaan restoran ini.”

“Benarkah?”

“Anda tidak percaya padaku, Pak?” Numaa menatap Pierre, “Anda sudah kuanggap sebagai ayahku di sini, dan Anda tidak mengenal karakterku sehingga berpikir demikian?”

“Sudahlah, tidak perlu dibahas kalau memang tidak ada apa-apa. Tapi, kalau memang benar ada hubungan istimewa diantara kalian berdua, pandai-pandailah menyembunyikannya. Bukan hanya Numaa, tapi kau juga harus mendengar ini, Elina.”

“Kenapa jadi aku?” rengek Elina yang sedari tadi hanya sibuk membuat tagihan untuk para tamu, “Aku tidak melakukan apa pun!”

“Intinya, berhati-hatilah, itu saja,” lantas Pierre meninggalkan kedua gadis itu.

“Kapten harus lebih berhati-hati,” kini Elina bicara pada Numaa.

“Kau juga curiga padaku?” Numaa menatap Elina dengan nyalang.

“Bukannya begitu, tapi memang ada desas-desus yang mengatakan jika kalian cukup dekat akhir-akhir ini. Kapten harus sedikit menjaga jarak dari Chef Adrianno.”

“Kenapa aku harus melakukannya? Dibandingkan aku yang hanya terduga dekat dengan Chef Adrianno, banyak karyawan lain yang merupakan suami istri di sini.”

“Tapi, aturan di sini mengatakan jika dua orang memiliki hubungan kekeluargaan, maka mereka harus ditempatkan di tempat yang berbeda.”

“Lantas apa? Aku dan Chef Adrianno juga bukan keluarga. Seandainya kami menikah pun, dia adalah Executive Chef, yang berarti area kerjanya meliputi seluruh restoran di hotel ini. Lalu, aku mau dipindahkan ke mana? Hotel Diana Modorcea?”

“Pindah saja ke Timbuktu, Kapten,” dengus Elina.

...
.
.
.
.
.

-Emer Emerson

Chains & TiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang