34

3 3 0
                                    

Setiap pulang magang, Elina selalu mengunjungi Numaa, sehingga Antonio memanfaatkannya untuk mendekati gadis itu lagi dan lagi. Tetapi harga diri Elina perlahan-lahan mulai membangun tembok yang kokoh untuk menghalangi masuknya cinta Antonio. Setiap kali datang, Elina hanya memberitahu Numaa tentang keadaan tempat kerja selama Numaa diberikan cuti sakit oleh perusahaan. Elina tetap menyampaikan perkembangan, sebab Adrianno tidak bisa diandalkan karena lebih fokus pada produksi makanan, tentu saja.

“Tampaknya, kalian pernah sangat dekat, tetapi kau menjauh darinya, kenapa?” tanya Numaa pada Elina dengan kode bahwa ia sedang membicarakan Antonio yang duduk di luar ruang opname.

“Terlalu banyak drama dalam keluarga Henderson, dan aku tidak menyukai hal semacam itu,” dengus Elina.

“Memang.” Numaa tertawa kecil. “Mereka sangat sulit dipahami. Tetapi, masing-masing dari mereka memiliki hati yang tulus, dan kau harus menyadarinya.”

“Uh, entahlah.” Elina menggeleng.

“Adrianna itu baik, penyayang, dan mudah menerima keadaan,” Numaa tersenyum, “sedangkan Adrianno itu penuh intrik—hampir-hampir terkesan licik bagiku, tetapi dia punya hati yang lembut, dan dari sinar matanya, dia tidak ingin mengulang kesalahan ayahnya yang suka mempermainkan wanita. Lalu, mengenai Antonio, kurasa kau yang lebih tahu bagaimana sifat aslinya.”

“Madam,” Elina mengucapkannya dalam satu embusan napas berat. Ia menatap Numaa, yang hanya dibalas dengan senyum oleh yang bersangkutan. “Tidakkah kau marah karena sudah dikerjai habis-habisan selama berbulan-bulan?”

“Jika hasil akhirnya adalah perasaanku padanya tidak sia-sia, maka tak ada yang perlu dipermasalahkan.”

“Tapi dia membuatmu sakit!”

“Aku sakit karena aku tidak memperhatikan pola makanku. Itu salahku.”

“Anda tidak selera makan karena Anda terus-menerus terpikirkan oleh Chef Adrianno! Anda berhak untuk marah!”

“Untuk apa marah pada sesuatu yang sudah terlanjur?”

“Anda ternyata benar-benar budak cinta! Ck!” Elina mendecih karena kesal.

“Elina, hidup terus berjalan. Apa yang sudah berlalu, biarkan berlalu. Kita tidak hidup di masa lalu. Sekarang, maukah kau membuka hati pada pemuda itu lagi?”

“Madam...” Elina merengek.

“Setidaknya demi jujur pada dirimu sendiri.”

“Apa?”

“Kau tidak bisa membohongi Madam Numaa,” ucap Numaa, menyombongkan dirinya sendiri. “Aku tahu, kau masih memiliki perasaan pada Antonio. Ayolah, Elina, buka pintu hatimu sedikit saja. Hanya sedikit. Tidakkah menyenangkan jika kau menjadi ipar bagi aku dan Adrianna? Tidakkah menyenangkan jika kita sudah saling mengenal ketika berkumpul bersama?”

“Khayalan macam apa itu?” Elina meringis.

“Aku menginginkannya!” Numaa tertawa. “Memangnya kenapa kalau aku mau anak-anak magang yang berada dalam perlindunganku juga menjadi adik-adik iparku?”

“Itu akan menjadi berita terkonyol di tempat kerja, Madam.”

“Tapi aku akan menyukainya.”

“Ya, kecuali kenyataan bahwa HRD akan pusing karena harus memisah-misahkan kita di tiga tempat yang berbeda.”

“Oh, biarkan HRD yang pusing! Aku tidak akan pusing!”

“Begini jadinya kalau terompet tahun baru diberi nyawa,” keluh Elina.

“Kau bilang aku apa?!”

“Terompet! Karena Madam terus mengoceh dengan nyaring seperti terompet!” ledek Elina.

“Oh, awas saja kau! Akan kukatakan pada Antonio kalau kau diam-diam cinta mati padanya!”

“Jangan! Itu tidak logis!”

“Oh, sangat logis bagiku!”

Dan, di luar situ, bohong jika Antonio tidak mendengar apa pun. Tanpa disadari, mereka bicara dengan nyaring seperti terompet. Ya, mereka, baik Numaa maupun Elina. Namun, Antonio bisa sedikit tersenyum karena mengetahui bahwa Numaa mau repot-repot meluluhkan hati Elina untuknya.

...
.
.
.
.
.
-Emer Emerson

Chains & TiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang