33

3 3 0
                                    

Jauh dari penyakit yang disangkakan oleh Elina dan Numaa sendiri, karena Numaa justru mengidap gangguan pola makan hingga hampir mengalami anoreksia. Sudah bukan maag, melainkan gejala anoreksia. Kondisi ini mengancam tubuh Numaa lebih dari sekadar penampilan, sebab, organ reproduksinya terganggu karena turunnya berat badan secara drastis ini.

Kyra sedikit sinis ketika mendengar bahwa gadis pilihan putra sulungnya ternyata memiliki gangguan kesehatan yang cukup akut sampai-sampai divonis sulit mendapat keturunan. Bagaimanapun juga, Adrianno diharapkan bisa melanjutkan garis keturunan keluarga Henderson.

Numaa bisa memasang wajah tangguhnya di siang hari, demi mengelabui semua orang. Tetapi tidak ketika malam telah tiba dan ia seorang diri di ruang opnamenya. Ia terisak. Ia juga ingin melahirkan dan menimang anak, seperti wanita lain. Dia ingin merasakan menjadi wanita sebagaimana seharusnya. Ia terisak tiada henti.

Numaa lekas menghapus air matanya ketika pintu ruangannya diketuk, dan Adrianno melangkah masuk. Setelah menutup pintu, pria itu dengan cepat menghampiri dan memeluk Numaa.

“Maafkan aku.” Kini Adrianno yang terisak. “Karenaku, kau jadi begini.”

Numaa tidak menjawab, namun air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya.

“Kita akan membuatmu sembuh, Sayang!” ikrar Adrianno, “Aku akan selalu berada di sampingmu!”

“Aku hanyalah seorang wanita yang cacat,” isak Numaa, “dan kau akan meninggalkanku.”

“Kau adalah seluruh kesempurnaan yang kudambakan!” Adrianno menangkup wajah Numaa dan menatap kedua matanya dengan lekat.

“Tapi aku mungkin tak akan bisa memberikan keturunan untukmu,” ujar Numaa dengan suara serak.

“Aku bersumpah aku akan selalu mencintaimu apa pun yang terjadi!” seru Adrianno lagi, “Bahkan jika kita hanya berdua hingga maut memisahkan, aku tak akan menyesalinya.”

Sementara itu, Adrianna menguping tangisan dua insan tersebut dari balik pintu. Tubuhnya tersandar pasrah, sedangkan kepalanya menengadah. Perlahan-lahan, air mata mengalir dan menetes ke lantai.

Adrianna teringat, pernah satu kali ia tak sengaja mendengar pembicaraan Adrian dengan Hedda.

“Kau adalah cahaya yang menerangi kehidupanku, Hedda. Selamanya, aku tak akan pernah melepaskanmu, meski seluruh dunia membenci kita.”

“Tetapi kau jelas diciptakan bukan untukku,” ucap Hedda dengan lemah.

“Jika memang tidak, mengapa takdir mengizinkan pertemuan kita?”

“Adakah arti diriku bagimu, hingga kau memohon padaku hingga seperti ini?”

“Kau adalah seluruh kesempurnaan yang kudambakan! Bahkan jika aku harus kehilangan banyak hal demi dirimu, aku tidak akan keberatan, sebab, tak ada sesuatu yang terlalu mahal jika sebagai gantinya adalah aku mendapatkan cintamu. Aku bersumpah, aku akan selalu mencintaimu apa pun yang terjadi!”

Memang benar, anak-anak tak pernah gagal mewarisi sifat dan sikap orang tua mereka. Bahkan, hingga kalimat sedetail itu, Adrianno mengucapkannya sama persis dengan Adrian, padahal Adrianno tak pernah melihat Adrian mengucapkannya, apalagi pada Hedda dan bukannya Kyra.

...
.
.
.
.
.
-Emer Emerson

Chains & TiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang