18

3 3 0
                                    

Numaa mengetuk pintu kamar di sebelah kamarnya. Mereka menginap di sebuah penginapan yang bersih dan nyaman, namun pemiliknya sedikit nyentrik dengan lilitan kain sebagai rok sehari-harinya.

"Chef, bangunlah! Ayo sarapan!" teriaknya sambil mengetuk pintu.

"Berhentilah memanggilku begitu di luar tempat kerja!" sahut Adrianno sambil membukakan pintu.

"Lalu, aku harus memanggilmu dengan sebutan apa?"

"Cukup dengan namaku saja," jawab Adrianno sambil mengunci pintu kamarnya. "Jadi, kau ingin sarapan apa?"

"Mie juga tidak masalah, yang penting minumnya es teh."

"Seleramu mudah didapat ternyata."
Mereka berjalan turun, kemudian menitipkan kunci kamar mereka pada resepsionis penginapan.

"Kuharap tidur kalian nyenyak semalam," ujar pemilik penginapan yang kebetulan ada di sana.

"Sangat nyaman!" seru Numaa.

***

Kabar tentang Adrianno liburan bersama Numaa segera merebak bagai wangi bunga di musim semi. Entah siapa yang mengawali, tetapi yang pasti, kini desas-desus itu sudah gencar seantero hotel tempat mereka bekerja.

Sebagai anak-anak kesayangan Numaa, Adrianna dan Elina sudah kebal terhadap pertanyaan yang diajukan pada mereka perihal hubungan dua orang itu, juga segala tetek bengek tentang mereka berdua.

Elina yang menjadi hostess tidak bisa bekerja dengan tenang. Adrianna yang menjadi egg runner juga tidak bisa fokus. Mereka diberondong pertanyaan oleh banyak orang mengenai banyak hal, hingga mereka merasa ingin mengamuk, tetapi tetap bersikap kalem hanya agar tidak mempengaruhi kinerja mereka.

Kalau bukan karena sertifikat magang, tentu Elina tidak akan mau repot-repot menjadi ahli poker face tanpa bayaran meski seluruh tulangnya sudah patah. Adrianna juga mungkin sudah pulang dan memilih membuka usaha kecil di kampung halamannya.

Setelah selesai menghitung napkin kotor, Adrianna mengajak Elina untuk membawa tumpukan napkin tersebut turun ke laundry, sekalian istirahat. Elina setuju dan bergegaslah mereka.

"Untunglah Pak Damian bukan tipe orang yang ingin tahu urusan orang lain," ujar Adrianna sambil berjalan, "sehingga telinga kita tidak tuli dibuatnya."

"Beruntungnya kau," Elina menimpali, "sementara aku dicecar oleh para hostess setiap kali tidak ada tamu untuk diantar. Banyak yang mereka tanyakan, tetapi tak ada jawaban yang bisa kuberikan."

"Memang keterlaluan," gerutu Adrianna, "menganggap kita tahu segalanya menyangkut Kapten Numaa hanya karena kita dekat dengannya. Untunglah besok jadwalku libur, sehingga aku bisa tenang untuk sementara waktu."

"Dan aku harus tuli sendirian, begitu?" jerit Elina sambil memencet tombol lift.

"Jadwal liburmu memang masih lama, 'kan?"

***

Agnes merajut sebuah syal merah sambil melamun. Ia berpikir, mungkin tidak apa-apa untuk mengampuni seseorang yang bersalah. Siapalah ia hingga tak mau memaafkan manusia lain? Bahkan Tuhan Yang Maha Kuasa saja mau mengampuni. Mengapa dirinya yang manusia biasa tak dapat memaafkan?

"Nona!" Luna mengetuk pintu ruang kerja Agnes.

"Masuklah!" Agnes menjawab sambil melanjutkan rajutannya.

"Anda mau teh hangat? Saya bisa membuatkannya untuk Anda."

"Tidak perlu." Agnes menggeleng. "Tapi aku memerlukanmu di sini. Aku butuh seseorang untuk diajak bicara."

"Dengan senang hati." Luna tersenyum, menutup pintu, dan duduk di samping Agnes.

"Aku berpikir untuk memaafkannya," ujar Agnes.

"Demi ketenangan jiwa Anda sendiri?"

"Kupikir demikian." Agnes terus merajut. "Melupakan masa lalu."

"Dan menerima seseorang yang seharusnya Anda terima?"

"Kenapa? Kau ingin berkata jika darah lebih kental daripada air? Begitu?"

Luna hanya tersenyum kaku.

...
.
.
.
.
.

-Emer Emerson

Chains & TiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang