"Raksa, dunia ternyata sekompetitif itu, ya? Kamu nggak capek?"
"Kadang capek, sih, tapi mau gimana lagi ..., dunia secara nggak langsung nuntut aku untuk selalu berambisi dan gila harapan."
"Berambisi boleh-boleh aja, tapi jangan sampe lupa batasan...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
Tahun 2006 ....
Juni, tahun 2006. Masih seperti biasa, langit Samarinda sudah satu minggu tampak sendu pilu, bahkan sesekali meneteskan tangisannya.
PERTANDINGAN ANGGAR NASIONAL 2006
Hari ini adalah penentuan terakhir, bisa dibilang klimaks dari banyaknya tahap yang harus dilalui sebelum dinyatakan pemenang tingkat nasional.
Pertandingan anggar kali ini begitu berbeda, terlalu hambar rasanya. Masuk seleksi tingkat nasional harusnya membuat hormon yang bereaksi di hipotalamus setidaknya memberi efek bahagia walau hanya sekian persen saja. Nyatanya tidak ada dopamin yang membuatnya begitu menggebu-gebu.
Verlyn duduk termenung, sedang pikirannya kalut tak berujung. Sesekali ia meremas kedua tangannya untuk menormalkan suasana hati yang kian berkecamuk.
"Orang tua lo ga bisa dateng lagi? Ini pertandingan terakhir sebelum pengumuman juara, Ver."
Verlyn antap pada pikirannya, tak peduli dengan empat belas kata yang diterbangkan seseorang.
Cowok itu mendekat, duduk di sebelah Verlyn yang masih menunduk dalam keheningan. "Udah, keluarin aja air mata lo. Pertandingan masih lama," ucapnya, hal itu membuat Verlyn semakin tak berkutik.
Verlyn mengangkat pandang, menatap puluhan bendera yang tiada jeda berbuai-buai diembus angin. Mulutnya masih bungkam untuk merespons. Harap-harap seseorang di sebelahnya itu segera pergi. Ia butuh kesendirian.
"Kalo kata Al-Kindi, kesedihan merupakan penyakit jiwa yang terjadi karena dua hal, yaitu hilangnya yang dicinta dan luputnya yang didamba." Arsen memberi jeda, ikut merasakan kenikmatan tiupan angin yang menerpa epidermis kulitnya. "Dan lo ngalamin salah satu dari dua definisi itu."
Verlyn menoleh, menatap kedua netra laki-laki di sampingnya. "Sok tau dan gue nggak mau tau."
"Ketahuan banget lo mau nangis."
"Gue nggak cengeng," bantahnya.
"Sikap defensif yang lo keluarkan kentara banget kalo lo mau nangis." Cowok berkaus hitam polos itu tersenyum. "Tubuh lo kekurangan hormon kebahagiaan."
Verlyn beranjak menjauhi lawan bicaranya, muak diterpa pernyataan-pernyataan yang tidak ia perlukan. Persetan dengan biologi!
"Verlyn!"
Yang dipanggil berhenti melangkah. Diam. Mempersilakan orang yang memanggil berkata sesuatu.
"Gue harap gue jadi salah satu orang yang bisa ningkatin hormon dopamin di tubuh lo."
***
"Allez!"
Kedua lampu menyala bersamaan, penonton dibuat tak berkedip akan hal itu. Oksigen pun seolah tak direstui untuk dihirup dan diembuskan kembali.