Bab 10

89 37 8
                                    

Suasana SMA Lembuswana sudah ramai pagi-pagi sekali, banyak siswa-siswi baru yang sengaja disuruh datang lebih awal untuk mengikuti MOS hari kedua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana SMA Lembuswana sudah ramai pagi-pagi sekali, banyak siswa-siswi baru yang sengaja disuruh datang lebih awal untuk mengikuti MOS hari kedua. Tak sedikit dari mereka yang mengabadikan spanduk besar berisi ucapan selamat atas kemenangan Raksa pada olimpiade matematika tingkat provinsi semester lalu yang terpasang di dekat gerbang sekolah.

    Sudah tiga hari bumantara menampakkan saturasi kelabunya, bahkan kontras sinar baskara yang rendah seolah mendukung siapa pun untuk bermuram durja.

    Entah sudah berapa kali Sean berusaha tidak melihat spanduk itu. Baginya, apa, sih, yang harus dibanggakan dari perolehan laki-laki itu? Ini semua bukan urusannya.

    Nyatanya--

    Seseorang berseragam SMP datang mendekati Sean. "Kak, dia kelas berapa, ya?" ucap gadis itu sambil menunjuk rupa Raksa yang terpampang jelas di spanduk.

    "Dia siapa?"

    "Itu, loh, Kak. Ituuu!"

    --mau tak mau Sean mengikuti arah telunjuk lawan bicaranya.

    Malas-malas Sean menoleh, mendapati roman Raksa yang mengukir senyum menghadap kamera. Tangan kanannya memegang medali emas bertuliskan angka satu, sementara tangan lainnya memegang boneka maskot dari olimpiade yang diikutinya.

    "Dia? Orang nggak waras itu? Dia di kelas 11 IPA 1."

    "Orang nggak waras?"

    "Ya." Sean mengembuskan napas malas. "Dan lo harus tau, selain sama dia, gue juga sekelas sama orang-orang nggak waras lainnya, yang setiap hari kerjaannya berambisi dan berkompetisi memperebutkan peringkat tertinggi."

    "Terserah, deh, Kak, sebutannya apa. Aku cuma mau nitip ini."

    Secarik kertas dijulurkan padanya, ada simbol hati di pojok kanan atas yang dihias menggunakan spidol berwarna merah muda. Sean tertawa hambar melihat surat cinta itu.

    "Anak SMA masih suka beginian?" Lagi-lagi Sean tertawa, lantas menimbulkan kerutan di kening si siswi baru. "Nggak usah terlalu berharap, deh. Dia, mah, lebih cinta sama pelajaran eksakta, yang ada lo bakal nggak dipeduliin sebelum dia mecahin semua persoalan trigonometri, kalkulus, atau apalah itu."

    "Dan kamu juga termasuk orang 'nggak waras' itu. Beraninya ngomong di belakang."

    Suara berat milik seorang laki-laki yang baru saja melintasinya kontan membuat Sean terlonjak kaget. Satu sepatu berhasil mendarat tepat di kepala Raksa.

    Yang dilempar sepatu berbalik badan, buru-buru si siswi baru yang entah siapa namanya itu merampas kembali kertas yang sudah berada dalam genggaman Sean, lantas berlari menjauh dari tempat itu.

    "Dia siapa, sih? Kayaknya takut banget kugigit," ujar Raksa sambil mengusap kepala bagian belakang yang masih terasa sakit.

    "Nggak tau, tuh. Orang gila." Sean memutarkan bola matanya malas. "By the way, gimana rasanya? Enak, kan, gue lempar pake sepatu?"

Muda MoodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang