***
Raksa mengedarkan pandang, mencari siapa Tiffany yang dimaksud. Banyaknya murid di SMA Lembuswana membuatnya tak begitu hapal seluruh teman seangkatannya.
Netranya juga melirik Sean yang tampak malas berjalan menghampirinya. Lagi dan lagi ia mendapat penampakan mata sinis dari Sean.
Raksa hanya diam, kembali memperhatikan setiap murid perempuan yang ada di kelasnya, harap-harap segera menemukan sosok gadis bernama Tiffany.
"Udah kayak nama brand aja," gumam Raksa saat menyadari nama seseorang yang ia tunggu pangkal hidungnya itu mirip seperti nama sebuah perusahaan ritel perhiasan dan barang-barang antik terkenal.
"Selamat pagi."
Tampak seseorang tengah terengah-engah di muka kelas. Dadanya kembang kempis lebih cepat, deru napas itu tak lagi berpadu padan dengan detak jantungnya.
Pak Tara menoleh, beberapa orang di kelas juga ikut memusatkan netranya ke sumber suara. Termasuk Raksa, lantas sebuah kerutan terpampang di dahinya saat melihat rambut hitam gadis itu yang sedikit tak karuan.
"Tiffany, kamu ngapain lama-lama di wc?" Kontan Pak Tara bertanya. Gadis yang penampilannya sudah tak karuan itu lantas mendapat puluhan ekspresi bingung.
Sejak detik itu, Raksa mengetahui siapa murid yang memiliki nama Tiffany, tepatnya Tiffany Amerta. Segaris luka yang tertoreh di pipi sebelah kanan gadis itu pikirnya belum lama terbentuk.
Tiffany hanya merespons pertanyaan Pak Tara dengan senyuman, seolah tak terjadi apa-apa dan tak ada yang perlu diketahui.
"Ya sudah, lupakan. Oh ya, Tiffany, kamu saya tempatkan di kelompok enam, ya," ucap Pak Tara memberitahu, karena saat pembagian kelompok, Tiffany sudah angkat kaki ke wc.
Orang-orangnya aja gue nggak tau, pikir Tiffany, melihat sekumpulan teman-temannya.
"Kelompok enam di sebelah sana." Jempol Pak Tara mengarah ke tempat duduk Raksa, juga Sean yang kini duduk bersebelahan dengan cowok itu.
Kedua netra bertemu.
Tiffany menghampiri mereka berdua sambil menjinjing totebag dan memegang satu buku kecil yang sempat ia keluarkan, lantas mendapat senyuman sekilas dari Raksa. Sean, sih, bodo amat.
Tiffany meletakkan buku kecil itu di atas meja, gambar busana yang terukir di sana langsung menarik atensi Raksa. "Kamu suka ngedesain baju?"
***
Raksa mencentang kolom ekstrakurikuler pelatihan olimpiade kimia pada lembar khusus pendaftaran ekstrakurikuler.
Secinta-cintanya Raksa kepada matematika, ia tetap memilih bimbingan olimpiade kimia karena pengen aja.
Kertas itu terus berpindah tangan, lagi dan lagi denyut jantungnya berhasil dibuat berdisko, harap-harap tidak ada saingan yang perlu ia waspadai kelak di penyeleksian tingkat sekolah untuk mengikuti olimpiade kimia nasional.
Selembar kertas yang sudah dipenuhi tanda tangan akhirnya berhenti di tangan terakhir yang posisinya berada di paling pojok kelas. Tanpa membaca preferensi ekstrakurikuler lain, jemarinya kontan menggoreskan pena di sebuah kolom. Tampak roman Dangker mencetak seringai, hal itu menjadi siaga 2 untuk Raksa.
Siswa yang sudah mendaftar diperintahkan mendatangi ruangan ekstrakurikuler pilihannya untuk melakukan pendaftaran kedua sekalian perkenalan ekstrakurikuler.
Raksa menyusuri koridor, mencari ruangan ekstrakurikuler pelatihan olimpiade kimia seorang diri.
Hatinya antap, lantas berpikir mungkin hanya dirinya yang mendaftar di ekstrakurikuler itu di antara tiga puluh enam siswa kelas 11 IPA 1 lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muda Moody
Teen Fiction"Raksa, dunia ternyata sekompetitif itu, ya? Kamu nggak capek?" "Kadang capek, sih, tapi mau gimana lagi ..., dunia secara nggak langsung nuntut aku untuk selalu berambisi dan gila harapan." "Berambisi boleh-boleh aja, tapi jangan sampe lupa batasan...