Bab 6

120 45 39
                                    

Tahun 1998

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tahun 1998 ....

    Orang bilang, lahir di era '90-an adalah mereka yang memiliki masa-masa paling banyak kenangannya. Menjadi saksi komputerisasi pertama kali dipopulerkan, sampai krisis moneter yang melanda Bumi Pertiwi.

    Verlyn lagi-lagi dibuat kewalahan mencari tempat yang sedikit renggang. Terjebak di ratusan massa yang sedang menggelar protes akibat krisis moneter nyaris membuatnya tak bernapas.

    Bau keringat, amis ikan, sampai bau-bau orang belum mandi menyeruak masuk ke dalam hidung. Kalau tidak sedang mencari jejak ibunya, ia rela pingsan di tempat itu sekarang juga.

    Tetes demi tetes tirta keluar dari kelopak matanya, gadis berusia delapan tahun itu sudah tak kuasa menahan ledakan kegelisahan di dalam tubuhnya.

    Raganya kian melemah; ia bertengkar hebat dengan pikiran sendiri. Bagaimana mungkin bisa menemukan sang ibu di antara manusia-manusia yang tiada henti bersorak itu?

    Beberapa kendaraan meledak, lantas kobaran api dan kepulan asap keluar bak gunung yang meletus. Tangan-tangan jahil pun tiada henti menjarah barang-barang di berbagai toko. Keadaan pasar sangat kacau, amarah dan segala suara-suara keras lainnya tak henti-hentinya memekakkan telinga siapa pun yang mendengar.

    Verlyn bersembunyi di samping toko baju. Sebuah meja yang tertutup spanduk dijadikannya tempat persembunyian. Awaknya sudah pasrah, membiarkan takdir bergerak mempertemukannya dengan sang ibu atau tidak.

    Tak jauh dari tempatnya bersembunyi, sebuah roman milik seseorang berbadan kekar yang membentuk seringai lengkap dengan kepulan asap rokok yang keluar dari lubang hidung teralihkan fokusnya pada gerak-gerik Verlyn.

    Ia menyentil sebatang rokok yang masih membara, meletakkan benda putih itu ke dalam asbak. Bokong yang semula berciuman dengan permukaan kursi kini beranjak menjauh. Sang empunya makin mendekati tempat persembunyian Verlyn.

    Satu detik ..., dua detik ..., tiga detik ....

    Dada Verlyn kembang kempis begitu cepat, berusaha membuang jauh-jauh atmosfer kepanikan yang sedang menyelimutinya.

    Tanpa sadar, sepasang tangan besar tiba-tiba meraih tubuhnya, Verlyn dibuatnya berteriak histeris. Mulutnya yang telah ditutup kain turut dilakban.

    Berbadan gempal dan tinggi, berpakaian serba hitam lengkap dengan tindik yang terpasang di telinga dan hidung. Deskripsi singkat yang bisa Verlyn ingat sebelum seseorang pria berperawakan seram itu ditendang seorang remaja yang masih berbalut seragam sekolah.

    Verlyn terlepas dari genggaman si pria kekar, tubuh mungilnya lantas menghantam tembok.

    "Auh ...." Verlyn merintih.

    Rasa sakit menguasai lututnya, bahkan goresan luka sepanjang dua centimeter tertoreh di sana. Mau berdiri saja rasanya susah.

    Lelaki kekar yang nyaris menculiknya tadi habis dipukuli dengan payung oleh seseorang yang tak ia kenali. Tangannya begitu lihai memukuli badan kekar pria itu dengan gaya khas pemain anggar.

Muda MoodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang