4. Pantangan dan Laksana

1.1K 131 34
                                    

Happy Reading

...

"Jika memang skenario yang sudah Tuhan rancang itu ada satu titik keberuntungan, apa boleh buat jika memintanya sekarang juga."

...


03.30
Di pagi buta ini Anta terbangun dari tidurnya karena mendengar ketukan di pintu utama. Dengan kesadaran yang masih setengah-setengah Anta berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu utama untuk segera membukakan pintu dan tau siapa yang mengetuk.

Langkah demi langkah Anta pun sampai di depan pintu utama.

"Astrid ini ayah nak." setelah mendengar itu Anta sudah bisa menebak siapa yang datang di pagi buta ini. Om Windu yang baru selesai dari tugasnya. Dengan perasaan senang Anta membukakan pintu dan benar.

"Pakdhe." panggil Anta dengan matanya yang berbinar. Om Windu yang melihat dan mendengar panggilan itu lantas tersenyum dan menepuk bahu Anta pelan. Tidak mengatakan sepatah kata apapun om Windu hanya melewati Anta begitu saja.

Setelah itu Anta langsung saja segera menutup pintu kembali dan mengikuti kemana om Windu masuk.

"Mari mengobrol di belakang sebentar. Teman-teman kamu masih tidur, gak enak kalau pakdhe ganggu." sebenarnya Anta sempat termenung, namun tanpa pikir panjang ia tidak mengambil pusing dan segera mengikuti om Windu yang mengajaknya berbincang di halaman belakang.

Pagi yang buta ini cukup membuat Anta merinding, ternyata dinginnya lebih menusuk di bandingkan sebelumnya. Padahal dia memakai jaket tebal, tapi tetap saja seolah jaket itu bukan tandingan hawa pagi di Tawangmangu ini. Sesekali ia memeluk badannya sendiri, mengusap-usap kedua tangannya. Meniup hawa hangat dari mulutnya setelah itu ia duduk karena om Windu mempersilahkan dirinya untuk duduk.

"Gimana kabar ibu kamu." om Windu mengawali obrolan tanpa menatap Anta sama sekali.

"Alhamdulillah pakdhe, ibu baik-baik aja." jawab Anta seadanya.

"Kamu bagaimana?" ucap om Windu kembali sembari menolehkan kepalanya menatap Anta. Sebenernya Anta tak mengerti dengan tatapan itu.

"Anta juga baik-baik aja pakdhe."

"Syukurlah kalau begitu." Anta hanya mengangguk, anggukan sebagai jawaban dari ucapan om Windu barusan.

"Besok kamu berangkat?" tanya om Windu.

"Iya pakdhe. Sebenernya Astrid ngotot banget pengen ikut bareng kami." daripada Anta sembunyikan, ia harus bicara soal apa yang ia bahas semalam dengan Astrid di tempat ini.

"Biarin aja dia ikut, dia udah biasa ke sana. Mungkin dia juga udah bosen nugas kuliah terus, biarin dia mau refresing."

Mendengar izin dari ayahnya saja sudah membuat Anta tidak harus repot terus untuk mempertimbangkan keberangkatan Astrid bersama dirinya dan teman-teman.

"Pakdhe cuma mau nitip pesen sama kalian. Masyarakat di sini masih mempercayai isu sakral dan pantangan, apalagi hal mistis. Percaya tidak percayanya balik lagi sama diri sendiri, terserlah mau percaya atau engganya. Pesan pakdhe kalian tetep patuhin pantangan itu, jauhi semua yang di larang, pakdhe cuma khawatir. Kalian ini masih muda tentu kalian masih bisa lalai kapan aja, di mana aja. Pakdhe cuma pengen kalian inget sama tujuan awal kalian, bermaksud apa kalian pergi ke sana. Saling mengingatkan satu sama lain saja ya. Kalau Astrid memang mau ikut biarlah, dia bisa jadi jalan terang buat kalian."

Anta di buat terdiam karena ia sangat begitu mengerti dengan apa yang om nya ini katakan. Terlihat seberapa besar kekhawatiran seorang ayah seperti om Windu ini, om Windu hanya ingin mereka pulang dengan selamat. Maka dari sekarang mereka harus di ingatkan sampai mereka mengerti.

MAHASURA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang