23. Ikhlas Paling Berat

886 117 35
                                    

Happy Reading

Ribuan rintik hujan menjadi saksi bisu untuk kesekian kalinya ego manusia yang tak terkontrol terjadi kembali. Ego yang tercipta lagi-lagi menjadi sebuah penyesalan baru bagi Mapala Trisakti.

"Nei!" Tidak peduli dengan tanah yang kini licin, berlari terseok-seok dengan sepatu yang kusutnya tidak bisa di deskripsikan lagi. Berkali-kali tersungkar, namun bangun lagi. Bian berlari pada jarak yang sedikit jauh, hanya untuk menghampiri perempuan yang kini sudah terkujur kaku dalam keadaan yang mengenaskan.

Di lain sisi perempuan yang terduduk lemas kini tengah meraung-raung penuh penyesalan, jika saja dirinya tidak egois semua tidak akan mungkin terjadi. Suara derasnya hujan benar-benar kontras dengan suara raungan yang tercipta.

Sekeras apapun raungan Inka, kini rekannya lebih khawatir dan cemas akan keselamatan Anei yang entah masih bisa di selamatkan atau tidak. Percuma saja jika Inka berharap ada uluran tangan, kenyataannya kini mereka enggan untuk memberi uluran sama sekali. Bahkan kelihatannya tidak ada satupun yang melirik.

Takut setengah mati, sesampainya di depan manusia yang terkujur kaku itu cepat-cepat Bian membalikkan badannya yang semula memiring menghadap pohon pembatas yang mungkin saja jika tidak ada, Anei sudah masuk ke dalam jurang di depannya yang siap melahap kapan saja.

Tidak bisa di pungkiri lagi Bian benar-benar khawatir ketika melihat wajah perempuan itu yang sudah bersimbah darah karena kepala yang ternyata bocor karena batang pohon yang ukurannya sedang itu berhasil melukai keningnya. Tanpa rasa jijik sedikit pun Bian menutup lubang bocor dengan tangannya sendiri, yang posisinya berada dalam pangkuannya.

Setelah merasa pendarahannya berhenti beberapa detik dengan segera Bian merobek baju basahnya lalu menempelkan nya pada kening Anei yang terluka. "Gue tau lo bisa Nei, bertahan."

Akhirnya Anta, Arkha, bahkan Kafka dan juga Dean yang tidak peduli pada guyuran hujan ini ikut menerobos.

"Biar kita bawa ke tenda dulu." intruksi Anta membuat Bian tertatih kuat dan dengan segera membawa Anei dalam gendongannya sendiri tanpa menghiraukan rekannya yang baru saja datang menghampiri.

Hanin yang melihat itu sudah tidak bisa berekspresi seperti bagaimana lagi, ia sama paniknya. Bukan menghampiri dulu, Hanin kembali ke tenda untuk membawa semua barang pengobatan yang sempat ia bawa. Walaupun Hanin tahu betul, bahwa sebenarnya Anei tidak akan bisa di obati hanya sekedar dengan ini. Tapi mau bagaimana lagi, Hanin tetap akan mencoba dan membuang pikiran negatifnya.

Setelah membawa peralatan itu Hanin segera keluar dari dalam tendanya dan segera masuk ke dalam tenda lelaki yang sudah di baringkannya Anei di sana. "Seengganya kita berusaha dulu."

🌬🌬🌬

Dalam kehangatan yang Arlan ciptakan Astrid berhasil nyaman berada dalam pelukan erat itu.

"Kita gak mau balik lagi Ar?" tanya Astrid yang kemudian mendongakkan kepalanya. Sama halnya Arlan menunduk melihat netra indah yang berada di hadapan matanya ini.

"Tanpa lo bilang juga, kita udah kelihatan balik lagi Ast."

Tanpa rasa iba sedikit pun Arlan perlahan mengusap gerai rambut pendek Astrid dengan tatapan penuh arti. Mencoba menyalurkan kehangatan lebih dalam lagi, mencoba mencari tatapan yang dulu sempat hilang.

"Kenapa gitu?" tanya Astrid.

"Emang keliatannya kaya gitu." Lagi-lagi di saat tidak enak badan seperti ini Arlan masih bisa bercanda yang membuat Astrid refleks memukul lengannya.

MAHASURA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang