14. Benar tapi Salah

797 116 20
                                    

Happy Reading

Tidak tahu harus berekspresi seperti apa Sara mendadak kaku dalam langkah gontai yang masih berlanjut, tanpa berniat untuk berhenti sama sekali. Jika Sara harus mengambil jalan, maka ia di tampar kenyataan yang berkata bahwa tidak ada jalan yang benar-benar baik. Semua jalan akan terlihat terpenuhi oleh kerikil yang jika ia jatuh akan terluka.

Detik berikutnya Sara menggeleng kuat, sadar bahwa detik ini yang harus ia pentingkan adalah bersembunyi. Mau serusak apapun jalan yang akan ia pilih nanti, Sara benar-benar akan menanggung akibatnya sendiri. Di ombang-ambing dalam pilihan yang sama-sama salah.

"Kak makhluk nya udah gak kelihatan." dengan nafas yang menderu tak beraturan Dinda berkata.

Setelah mendengar ucapan itu Sara hendak menoleh dan apa yang Dinda katakan memang benar. "Kita tetap harus berjalan sejauh mungkin biar makhluk itu gak bisa ngejangkau kita sampai kita berdua bener-bener ketemu sama temen-temen." jelas Sara sembari memegangi kedua tangan Dinda kuat, dengan raut wajah penuh permohonan agar dirinya bisa menuruti.

"Apa semua itu gak nihil kak?" jawab Dinda dengan wajah yang sangat mendominasi antara sedih, sakit, takut, dan khawatir.

Sara menghela nafas setelahnya menunduk mencoba menjawab pertanyaan itu tanpa mau melihat wajah Dinda sama sekali. "Kita emang udah masuk wilayah lain Din, tapi kalau kita berusaha, kita bakal bisa keluar dari sini." jelas Sara dengan penuh penekanan yang begitu khawatir.

Tidak sanggup lagi untuk berkata, Dinda merasa dirinya ingin menangis sepi mengeluarkan semua bendungan yang berada di pelupuk matanya. Di belakang pohon yang menjulang tinggi Dinda terduduk lemas lalu menangis, mengeluarkan semua sesak yang sudah ia tahan mati-matian untuk tidak terlihat lemah.

Dinda terduduk sembari menutup kedua wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba untuk tidak mengeluarkan tangisan yang bersuara. Padahal, menangis tanpa bersuara itu adalah tangisan yang begitu menyakitkan dan menyesakan pada lubuh hati.

Melihatnya itu Sara benar-benar tidak tahu harus seperti apa. Melihat makhluk Pribumi itu seperti putus asa membuat dirinya benar-benar merasa gagal saat mengingat dan menyesal karena tidak menekankan dan mengingatkan rekan-rekannya ini untuk tidak macam-macam pada hutan. Namun, jika ia marah juga semuanya akan tetap sama saja yang berarti tidak akan ada yang berubah sama sekali.

Tidak berlama-lama Sara memilih untuk ikut duduk dan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja untuk sekarang. Mencoba mencairkan suasana Sara perlahan mengusap pundak adik tingkatnya itu yang sudah naik turun dan bergetar.

"Gue nyesel banget kak, seharusnya gue emang gak harus ikut dan nyebabin masalah ini." ucap Dinda dengan suara yang tak begitu jelas.

"Gak ada yang pernah tau kalau ini bakal terjadi Din, menyalahkan diri sendiri juga bukan hal yang tepat buat lo seputus asa ini." ucap Sara tenang dengan kehangatan yang tercipta oleh sendirinya karena seiring berjalannya waktu. "Lo gak mau ketemu ibu lo? Lo gak mau ketemu Arkabian?" pertanyaan yang seolah membombardir itu kini membuat Dinda ingat pada kedua orang yang baru saja Sara sebut.

"Lo tega liat ibu lo serapuh itu nantinya? Lo tega liat Bian yang sama rapuhnya karena gak bisa jagain lo dengan baik? coba inget-inget lagi sampai sana Din, apa lo tega?" ucap Sara kembali. "Gue emang harus bilang ini sama lo Din. Bian, anak yang suka ngelawak kalau di ruang sekretariat Din, dia tiba-tiba jadi anak pendiam setelah lo ngilang kaya gini. Dia sampai maksa kita untuk tetap semangat buat cari lo, dia gak peduli mau sejauh apapun berjalan bahkan sampai ujung hutan pun dia tetap minta sama kita buat tetap cari lo, lo tau kenapa? Karena dia yakin Din, kalau lo itu bakal ketemu. Bian rekan kita yang paling hancur saat lo ngilang tanpa jejak gitu aja dia sampai berani misuh-misuh karena rekannya gak bisa ngertiin dia. Keylara Din, temen lo masih berharap lo pulang juga."

MAHASURA [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang