Chapter 4 - Nama Yang Aku Kagumi

2 0 0
                                    

Meskipun suka main-main dan bercanda, Alvin punya komitmen tinggi untuk menyelesaikan segala kewajibannya sebelum tenggat waktu, apalagi yang berhubungan dengan tahfidz. Itu semua karena dia termotivasi oleh seseorang. Bukan main, malunya Alvin ketika terpaksa bergabung dengan teman-temannya di lapangan. Padahal la sebelumnya sudah bisa bernapas lega karena bebas dari hukuman, mengingat la sudah selesai setoran dari tiga puluh menit yang lalu.

Namun rasa leganya menguap ketika Ustadz Ali baru memeriksa buku tahfiz-nya, tepat setelah teman-temannya sudah sampai ke tengah lapangan. Setiap hari Ustadz Ali memang memberi tugas muraja'ah. Jika sudah dilaksanakan, maka tinggal menulis laporannya ke buku masing-masing. Alvin benar- benar lupa kalau tugas muraja'ahnya belum dikerjakan sama sekali. Dia terlalu asyik bermain bersama teman-temannya.

Daripada bohong dan hukumannya akan bertambah jika ketahuan, Alvin lebih baik pasrah dan jujur kalau dia lupa dengan tugasnya itu. Bukan berarti juga Ustadz Ali akan memberi ampun dan la bebas dari hukuman, pria itu dengan tegas memerintahkan Alvin untuk bergabung dengan teman-temannya. Membuat dia melangkah setengah terpaksa diiringi seruan-seruan tiga angkatan sekaligus. Lebih lagi ketika la menemukan sosok Nasha di antara murid putri yang sedang melaksanakan kegiatan tahfidz di pendopo mereka.

"Paling epic itu pas dapet hukuman, ya, diliat sama crush sendiri, Vin." Adi menertawakan wajah kusut temannya.

"Malunya to the bone, Vin." Rauf malah iseng menambahi. Alvin berdecak. Bukannya baca Al-Quran, mereka malah sibuk mengganggunya. Dasar kurang kerjaan.

Namun decakannya malah membuat yang lain bersemangat menggoda cowok itu. "Wah, Alvin lagi mencoba menjaga wibawanya di depan Nasha," celetuk Erick iseng.

"Tapi sayang, Nasha-nya, mah, gak peduli. Orang dia juga gak tertarik," timpal Fariz sadis.

"Hahahaha..." Tawa mereka lepas begitu saja. Membuat perhatian beberapa orang di koridor dan pendopo putra teralihkan, tak terkecuali Ustadz Ali.

"Heh, kok, jadi pada ketawa semuanya?" Pria itu menegur. Membuat tawa mereka berangsur reda.

"Lucu ya, hukuman yang Ustadz kasih? Enak? Berarti mau-lah, ya, dihukum kayak gitu?"

Refleks saja mereka menggeleng

"Nggak usah, Ustadz. Repot-repot amat, sih," tolak Rauf, yang mengundang tawa tertahan teman-temannya.

Alvin juga ikut terkekeh. Walau pikirannya masih berputar pada kalimat Fariz tadi.

Dia tahu teman-temannya hanya bercanda. Itu hobi teman-temannya. Dia juga tidak pernah menanggapi serius ucapan mereka di situasi seperti ini. Apalagi ketika nama Nasha disebut-sebut.

Namun la benar-benar memikirkan kalimat tadi. Ya, bagaimana kalau Nasha tidak pernah peduli padanya? Memang itu bukan masalah besar. Tapi itu pertanyaan yang agak mengganjal.

Nama itu sudah la kagumi sejak bulan kedua la masuk ke sekolah ini. Bermula dari rasa penasaran, yang kemudian membuat rasa kagum akan Nasha timbul, dan secara teratur, seiring berjalannya waktu, semua itu bertransformasi menjadi rasa suka. Sesimpel itu rasa memulai permainannya.

Berterima kasihlah pada teman-temannya yang kelewat jahil dan heboh, akhirnya kabar kalau la menyukai Nasha tersebar ke dua angkatan saat itu. Termasuk ke telinga gadis itu sendiri. Apakah Alvin dan Nasha sendiri pernah berkomunikasi? Jawabannya, ya. Mereka pernah berbincang singkat lewat direct message Instagram. Tapi, itu bukan hal spesial. Meski gedung sudah dipisah, itu tidak memungkiri kemungkinan murid putra dan putri berteman kan? Apalagi sekarang ada sosial. Tidak memungkiri kemungkinan murid putra dan putri berteman, kan? Apalagi sekarang ada sosial media. Tinggal mengetahui akun sosmed masing-masing, saling follow, lalu bisa saling berteman dan berkomunikasi. Fakta itu juga yang membuat Kal menganggap bahwa komunikasinya dengan Nasha saat itu masih berstatus teman-ke-teman.

Meski kabar la menyukai Nasha sudah tersebar, gadis itu tidak menampakkan gejala risih atau semacamnya. Dia tampak biasa saja, masih berkegiatan dengan biasa saja, seakan tidak ada kabar yang menyangkut-pautkan dirinya sampai hari ini. Yang jelas, yang terlihat di mata Alvin selama ini, gadis itu tampaknya tidak menyimpan rasa yang sama.

Sudah berbulan-bulan, dan mereka masih sama saja.

Hanya teman.

"Wajar, sih, kalau kau berharap. Tapi jangan berlebihan tau, gak?" Zaidan berkata saat mereka sedang menikmati waktu istirahat di kelas. Ditemani jajanan yang mereka beli di kantin tadi.

Alvin hanya mengangkat bahu. Tidak menjawab.

"Kau masih ngarep dia balik suka kau juga?" tebak Zaidan, yang tentu saja tepat sasaran.

"Mungkin." Alvin tidak serius menjawabnya.

Mendengar jawaban tidak jelas itu. Erick mengernyit "Kalau semisalnya kalian udah saling suka, terus apa?"

"Pacaran? Oh, kau mau belajar numpuk dosa di usia muda?" Celetukan Adi itu membuat tawa teman-temannya pecah. Tidak terkecuali Kal yang hanya terkekeh kecil. Tumben tumbenan pada ngerti dosa.

"Atau HTS? Hubungan tanpa status? Ah, Itu, mah, sama aja. Sama-sama nyesek, sama-sama mancing dosa," timpal Fariz.

Erick ikut berceletuk, "Lagian, kau yakin gitu dia gak suka sama siapa-siapa? Maksudnya..."

"Udah, udah, nanti dia tambah galau."

"Iya, juga. Dahlah Vin, gak usah dipikirin."

"Hm, bener, kayak dia mau mikirin kau aja, hehehe."

Tawa mereka kembali pecah. Bercanda dan tawa memang sudah jadi bagian dari diri mereka masing-masing. Alvin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, walau akhirnya ikut tertawa juga.

Benar, itu juga yang kadang mengganggu Alvin. Apa yang la harapkan dari rasa ini? Alvin, dia hanya seorang remaja enam belas tahun yang sedang menyukai seorang gadis yang berhasil menarik perhatiannya selama ini. Pertanyaannya: Apa yang sebetulnya ia harapkan dari rasa selama ini? Jika ia tidak mengharapkan apa pun, pasti ia tidak akan gelisah mendadak hanya karena menyadari bahwa sikap Nasha tidak pernah berubah.

Setahun lalu, adalah pertama kalinya Alvin menyukai seseorang. Setelah cukup beberapa tahun hatinya terkunci karena trauma mendalam dan luka yang ditinggalkan oleh seseorang yang berarti di hidupnya, setelah cukup lama membenci kata 'cinta dan kasih sayang karena sempat dipatahkan oleh seseorang yang berkata kalau dia mencintai Alvin, setahun lalu ketika melihat Nasha yang tersenyum lebar sambil memegang trofi kompetisi robotik saat upacara, di situlah jantungnya berdegup lebih kencang.

Di situlah dia sadar, bahwa semesta memberikan pengalihan agar Alvin tidak terus-menerus memikirkan rasa sakitnya.

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang