Chapter 8 - Kenangan dan Janji

1 0 0
                                    

Alvin menyipitkan matanya ketika menangkap silau matahari yang menembus dari jendela. la masih demam sampai pagi ini. Tadi ketika mereka dibangunkan untuk shalat tahajud, la sempat bangun, namun tidak ikut pergi ke masjid. Badannya masih lemas sehingga usai shalat tahajud dan shalat subuh sendiri, la kembali tidur.

Ustadz Hardi juga menyarankan agar la tidak sekolah hari ini. Menetap di kamar sampai kondisi tubuhnya membaik. Maka ketika sarapan tadi, Zaidan berbaik hati mengantarkan kotak katering ke kamar agar Alvin tidak melewatkan sarapan.

Tadi malam mereka benar-benar menjalankan apa yang mereka bilang pada Ustadz Hardi. Saling membagi tugas untuk mengurus Alvin yang setengah lemas. Bahkan sampai Alvin terlelap pun, mereka menjaga suara agar tidak berisik dan mengganggu temannya yang sedang istirahat.

Di balik sifat mereka yang terkadang bisa dibilang absurd dan annoying, Alvin tidak bisa membantah kalau mereka cukup solid. Alvin mencoba untuk bangkit dan beralih duduk di atas kasur. Badannya masih terasa sakit. Membuat cowok itu memilih untuk tidak banyak bergerak dulu.

Perlahan la memejamkan matanya. Mengingat-ingat bahwa dulu, saat la sakit, ada seseorang yang setia menjaganya dari pagi sampai malam. Bahkan di tengah kesibukannya, la masih menyempatkan diri untuk menemani Alvin yang tidak bisa apa-apa selain berbaring di tempat tidur.

Seseorang... yang dulu la panggil bunda.


"Duh, Abang panas. Gak usah sekolah dulu, ya? Istirahat dulu di rumah."


"Alvin mau Bunda buatin apa?"


"Alvin, minum obat dulu, ya?"


"Nih, Bunda buatin sup buat Abang. Makan, yaaa... biar cepet sembuh."


"Bunda mau buatin Abang kue, tapi sekarang Abang tidur dulu. Biar nanti pas bangun, Abang bisa langsung makan kuenya."


"Vin jangan lama-lama sakitnya, nanti gak ada, deh, yang bantu Bunda buat Jagain Rion sama Ica."


"Superhero-nya Bunda, kan, kuat. Pasti bisa cepet sembuh."


"Bunda bakal selalu ada buat superhero-nya Bunda."



"Vin?"

Mata Alvin refleks mengerjap-ngerjap mendengar suara pelan itu. la mencoba mengumpulkan kesadaran, sembari membuka mata perlahan dan menemukan teman-temannya sudah kembali ke kamar.

"Udah mau Zuhur, bangun kau," kata Fariz seraya berlalu ke kamar mandi. Mendahului Rauf yang berseru ketika cowok itu dengan santainya masuk, memotong antrian.

Alvin berusaha untuk duduk. Tadi setelah sempat bangun sebentar, la tertidur lagi. Tubuhnya masih lemas sehingga la enggan untuk beraktivitas. Ini saja kepalanya masih terasa berat.

"Kenapa mata kau sembab, Vin?" tanya Adi sambil membuka gulungan seragamnya. Sama seperti Zaidan tadi, dia menggunakan bahasa Inggris karena memang bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa tersebut. Meski, ya, bahasa Inggris-nya masih amburadul dan campur dengan Indonesia juga.

Erick ikut menoleh, lantas berkata, "Iya, kayak habis nangis."

Mendengar itu Alvin refleks menyeka ujung matanya. Benar, la bisa merasakan bekas air mata di sana. Namun ia diam saja, tidak berminat untuk menjawab pertanyaan teman-temannya.

"Nanti habis shalat aku ambilkan katering kau," ujar Fariz. la baru selesai mengambil wudhu.

Mau tak mau cowok yang masih bersandar lemas di tempat tidur itu mengangguk. "Makasih."

Beberapa saat kemudian teman-temannya meninggalkan kamar. Samar-samar terdengar suara ustadz-ustadz yang berseru memanggil para murid untuk bergegas ke masjid. Sebentar lagi akan azan dan semua murid wajib berada di masjid sebelum itu.

Alvin menghela napas sebelum akhirnya berdiri. Ia melangkah pelan ke kamar mandi. Dengan sisa-sisa pikiran yang masih berkecamuk.

Dia menangis saat tidur tadi, gara-gara mimpi itu. Tidak, bukan mimpi, tapi kenangan itu.

Dia menengadahkan kepalanya. Menggigit bibir ketika merasakan bahwa matanya terasa panas. Tidak perlu waktu lama, setitik air mata turun ke pipinya. Lantas jatuh mengenal tangannya. Membuat Jutaan titik air lain menyusul, meruntuhkan pertahanan cowok itu,

Alvin menyandarkan kepalanya ke dinding kamar mandi, menutup pintu, lantas memejamkan mata. la merasakan bahwa bahunya terguncang setiap kali titik air itu jatuh.

Teman-temannya tidak pernah tahu. Para pengajar tidak pernah tahu, kecuali Ustadz Hardi, guru BK yang sempat mendengar cerita Alvin saat konseling di kelas 10, itu pun tidak keseluruhan. Mereka tidak pernah tahu kalau pada kenyataannya, seorang Alvian Arseno selemah ini.

la lemah... la bahkan menangis hanya dengan mengingat kenangan-kenangan konyol itu. la menangis... hanya karena mengingat satu janji yang diingkari oleh orang yang sangat la sayangi dulu.


"Bunda bakal selalu ada buat superhero-nya Bunda."


Tangis Alvin terasa semakin deras, bahunya kian terguncang. Di air mata yang terus-menerus jatuh itu, ada rasa kecewa, tertekan, luka, amarah, dan segenggam dendam yang tidak tahu ingin dilampiaskan ke mana.


Janji bodoh macam apa itu?

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang