Chapter 6 - Telepon Dari Rumah

1 0 0
                                    

Bayangkan saja kalau kamu adalah seorang santri. Selama dua puluh empat jam berada di lingkungan sekolah dan asrama, dikelilingi orang-orang yang awalnya terasa asing, namun perlahan bisa menjadi keluarga baru untuk diri sendiri. Bagi para santri yang jauh dari keluarganya, apa pun yang datang dari rumah, menjadi hal yang paling membahagiakan. Apa pun itu. Mau itu makanan, kiriman uang, bahkan sebuah telepon dan pesan singkat saja bisa membuat antusias.

Setidaknya... Itu yang Alvin pikirkan sampai tiga hari yang lalu. Saat pembimbing asramanya mengabari kalau dia mendapat telepon dari keluarganya.

"Assalamu'alaikum, Yah. Ini Alvin."

Hening. Tidak ada jawaban sampai lima detik kemudian.

"Yah? Halo?"

Alvin mengernyit Samar-samar terdengar dua suara pelan yang sedang berdebat. Tapi cowok itu tahu jelas, itu bukan suara ayahnya.

"Yah? Ini Al-"

"Halo, Vin? Ini Om Brama."

Hening. Alvin terdiam mendengar suara bariton yang tidak asing lagi di telinganya itu. Ia sedikit menundukkan kepalanya. Mulai menyadari ada yang salah.

"Ha-halo, Om. Ayah... mana?"

Om Brama, adik ayahnya itu berdeham sejenak. Samar-samar lagi terdengar suara pelan di dekatnya.

"O-Om?"

"Alvin, Ayah kamu sakit sejak dua hari yang lalu. Kena tipes. Drop karena kelelahan bekerja. Untuk sekarang Ozama sama Wafiqah dijagain sama Om. Om juga kaget waktu tahu orang rumah belum ngabarin kamu soal ini. Makanya Om langsung ngabarin, karena Om gak punya nomor pembimbing kamu jadi Om pakal handphone Ayah kamu," jelas Om Brama rinci.

Alvin tertegun. Tak lama kemudian, la memberanikan diri bertanya, "Keadaannya? Baik-baik aja, kan, Om?"

Ada sedikit harapan di nada suaranya.

"Insya Allah, Ayah kamu akan berangsur pulih tiga sampai lima hari ke depan. Kamu banyak-banyak berdoa saja, ya, Vin."

"Terus, Rion sama Ica gimana, Om? Rewel, gak? Mereka susah makan, gak?"

"Vin ..." Om Brama menegur. Menyela kalimat Alvin. Terdengar jelas kalau pria itu menghela napas. Maklum dengan kekhawatiran cowok tersebut. "Om paham sekali kalau kamu khawatir. Tapi percaya sama Om, Ayah kamu bakal sembuh, dan adik-adik kamu baik-baik saja sampai sekarang jangan terlalu dipikirkan, ya, Vin. Fokus saja sama belajar dan menghafal kamu. Banyak-banyak berdoa. Allah maha mendengar segala doa hamba-Nya, dan Allah pula yang akan membantu kita saat kesusahan, Ingat itu."

Tidak khawatir bagaimana?

Alvin hanya bisa mengembuskan napas kasar saat Om Brama mengakhiri sambungan telepon. Saat Itu la hanya bisa melangkah masuk masjid, menyerahkan handphone tersebut ke Ustadz Hardi, dan kembali duduk bersama teman-temannya dengan Al-Qur'an di tangan. Saat ditanya kenapa wajahnya murung, Alvin otomatis membuang jauh-jauh perasaan sedih itu dan memperbaiki ekspresi wajahnya. Tidak ada yang perlu tahu tentang apa yang baru cowok berusia enam belas tahun itu alami.

Selama beberapa tahun terakhir, Ayah menjadi panutan nomor satu yang ia punya. Sejak kecil, la selalu memperhatikan apa yang pria itu lakukan, mendengar apa yang pria itu katakan. Selama beberapa tahun terakhir pula, Rion dan Ica, dua adiknya, menjadi penyemangat yang membuat hidupnya masih memiliki warna. Sejak mereka hadir melengkapi hidup Kal, dia memusatkan seluruh kasih sayangnya kepada dua anak itu. Sebagal abang mereka, kal selalu ingin adik-adiknya bahagia dan mendapat yang terbaik. Dia tidak ingin sedikit pun membiarkan mereka terluka terlalu lama, seperti yang dia rasakan.

Mereka adalah salah satu alasan Alvin tetap memiliki senyum menawan yang dikenal semua orang Itu, bahkan setelah wanita itu memilih untuk meninggalkannya.

Selama enam tahun ini, ada banyak pertanyaan yang menghantui diri cowok itu. Pertanyaan- pertanyaan yang harusnya tak pernah ada. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat la diam-diam menyalahkan dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang beberapa kali membuat la menghukum dirinya sendiri untuk tidak bahagia.

"Vin? Kau gak apa-apa?" Sebuah suara di seberangnya memecah lamunannya. Akibat suara

Rauf, beberapa anak kelas delapan lainnya ikut menoleh. Menatap ke arah Alvin yang justru menatap mereka dengan mata setengah sayu.

"Hah? lya, aku gak apa-apa." Alvin berusaha memperbaiki posisi duduknya. Namun refleks la meringis saat menyadari kalau kepalanya terasa berat. Ada rasa hangat yang menjalar di sekujur tubuhnya.

"Gak apa-apa gimana? Badan kau kayaknya lemes gitu," timpal Adi.

Tanpa buang-buang waktu, Zaidan yang duduknya paling dekat dengan Alvin segera menempelkan tangannya di dahi Alvin. Membuat cowok itu sontak menepis tangan temannya. "Heh, apa, sih, kau."

"Yeee, badan kau hangat, woy. Balik ke asrama sana!" ujar Zaidan dengan nada yang tidak santal.

"Demam kayaknya kau, Vin. Pantes lemes dari tadi pagi," celetuk Fariz.

"Ah, aku gak apa-apa. Biasa itu hangat badanku kalau malam."

Namun teman-temannya mana mau mendengar pembelaan dari Alvin. Bahkan Erick langsung berdiri dan menghampiri Ustadz Hardi. Melapor kalau Alvin sedang tidak enak badan dan meminta izin agar Alvin bisa balik ke asrama.

Tuh, Ustadz Hardi udah angguk-angguk. Boleh berarti kau balik ke asrama," kata Zaidan dengan nada memerintah.

Erick berdecak. "Jangankan balik, berdiri aja kayaknya nggak mampu dia."

"Pingsan pulak nanti di jalan," tambah Adi.

"Kita juga yang repot." Rauf tak mau ketinggalan.

"Ya, udah, kita temenin aja, sekalian kita juga balik ke asrama," usul Fariz. Dan tentu saja akan disambut baik oleh teman-temannya.

"Boleh, tuh. Udah jam sembilan, kan? Bisalah kita balik duluan." Zaidan menimpall.

Maka kembalilah diutus dua orang (kali ini Zaidan dan Fariz) untuk izin pada Ustadz Hardi. Walau pada akhirnya mereka semua ikut menghadap pria tersebut.

Melihat Ustadz Hardi yang keberatan kalau mereka berdelapan kembali ke asrama, Rauf memutuskan untuk angkat bicara. "Ustadz, Alvin ini adalah orang paling baik di kamar kita. Jadi kalau dia sakit, ya, kita harus gotong royong buat jagain dia,"

"Ngapain rame-rame kalian ke sana? Satu atau dua orang aja, kan, bisa?" perintah Ustadz Hardi.

"Nanti kita bagi tugas, Tadz. Ada yang ngambil air panas, ada yang ngambil termometer di UKS, ada yang buatin minum, ada yang beresin tempat tidur Alvin dulu, ada yang buatin bubur kalau perlu. Nanti kita yang urus semuanya, Ustadz." Erick ikut memberi alasan..

"Lagian, Ustadz, saya merasa kalau maag saya kambuh. Kayaknya saya perlu balik juga ke asrama." Melihat Ustadz Hardi yang masih belum yakin, Rauf mulai bersandiwara. Secara tidak langsung memberi kode bagi yang lain untuk mendukung aktingnya.

Zaidan mengangguk. "Nah, Iya, Ustadz. Kita jadinya bagi tugas buat jagain mereka berdua,"

Mereka secara bergantian merespons pertanyaan Ustadz Hardi yang masih ragu. Membiarkan Alvin yang mulai merasa kalau tubuhnya lemas menggeleng-gelengkan kepala sendiri, tidak percaya dengan kelakuan teman-temannya ini.

Setelah sempat cek-cok sebentar, akhirnya Ustadz Hardi mengizinkan mereka berenam pamit dari masjid. Berhubung Alvin dalam keadaan lemas, maka Erick dan Zaidan membantu cowok itu untuk berjalan. Agak berlebihan memang, Alvin juga sempat protes. Namun karena teman-temannya ingin terlihat totalitas, jadi la terpaksa mengikuti mereka.

Rauf, yang tadi sempat mengaku maag, demi menunjukkan totalitasnya pun berjalan pelan sambil memegangi perutnya, juga sesekali meringis yang memancing tawa tertahan teman-temannya.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini, termasuk telepon dari rumah yang la terima. Jujur, ia tidak tenang sejak hari itu. Ia menyalahkan dirinya karena tidak bisa ada untuk Ayah dan adik-adiknya di saat-saat seperti ini. Namun la luput menyadari, kalau pikiran-pikiran negatif cowok itu juga bisa berdampak buruk bagi fisiknya.

Seperti yang la sudah bilang, selama beberapa tahun ini, ada banyak pertanyaan yang menghantui diri cowok itu.

Salah satupertanyaannya: Apakah boleh la membenci wanita pemilik rahim yang telahmelahirkannya karena beliau tega pergi demi kata bahagia yang katanya takpernah ia miliki?

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang