Kondisi Alvin sudah lebih baik keesokan harinya, la sudah bisa mengikuti aktivitas seperti biasa.
Siang ini, setengah jam sebelum masuk ke kelas untuk mengikuti jam pelajaran kedua, dia bersama teman-temannya yang merupakan Pansus dipanggil ke kelas 12. Tentu saja tidak sedikit dari mereka langsung mengeluh. Jam istirahat mereka terpotong karena rapat yang bisa dibilang cukup dadakan itu.
"Malas kali akulah ikut rapat kayak gini," gerutu Adi ketika mereka sudah berada di dalam ruangan. Suaranya sengaja dikecilkan karena Ustadz Danu sudah duduk di depan. Mereka sedang menunggu murid putri datang.
"Dadakan pulak tu. Udah kayak tahu bulat," gurau Rauf yang langsung disambung dengan tawa teman-temannya. Kal hanya terkekeh kecil mendengarnya. Dia juga sedikit malas harus berada di sini. Kalau bisa memilih, la jelas ingin berada di kamar, memanfaatkan jam istirahat untuk tidur.
Tak lama kemudian terdengar suara pintu diketuk pelan, disusul dengan suara salam dan pintu kayu itu terbuka. Membuat seisi ruangan bisa menduga kalau Pansus putri sudah datang.
Kedatangan para murid putri setidaknya bisa meredakan kebisingan dari barisan putra. Menyisakan bisik-bisik tertahan dan satu-dua pasang mata menatap ke arah barisan putri yang mulai mengambil posisi duduk. Menghindari kursi paling pinggir kiri yang langsung berbatasan dengan barisan putra.
Alvin melirik rombongan kecil itu. Mencari-cari satu sosok yang sebetulnya tidak mungkin ada di sana.
Melihat arah mata Alvin, Fariz mau tak mau tertawa pelan. "Nasha bukan Pansus kali, Vin. Salah kalau kau mau nyari dia pas rapat. Kecuali kalau kau juga DPP, ikut rapat DPP, pasti langsung ketemu," celetuk cowok itu iseng.
Mendengar itu Alvin mendengus. Sial, dia ketahuan. "Bukan nyari Nasha, kok." Cowok itu beralasan.
"Oh, bukan nyari Nasha? Kalau gitu nyari siapa? Atau kau udah move on dari Nasha dan ada crush baru?" Erick ikut menggoda Alvin yang makin salah tingkah.
Terakhir, Alvin hanya menggeleng. Tidak merespons lagi. Baru saja Ustadz Danu berdiri, hendak memulai rapat mereka, pintu kelas yang belum tertutup sempurna itu kembali diketuk oleh seseorang. Sontak seisi ruangan kembali mengarahkan pandangan pada pintu. Menemukan sebuah kepala menyembul dari luar.
"Assalamu'alaikum, Ustadz." Ummi Irda, asisten musyrifah itu memberi salam.
Alvin tidak tahu apakah itu refleks atau apa, namun yang jelas ketika pintu terbuka, ia terfokus pada seorang gadis yang berdiri di sebelah Ummi Irda. Cowok itu terkesiap, apalagi ketika menyadari pandangan gadis itu juga terarah padanya. la tampak terkejut, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya.
Dia gadis itu, Gadis yang melihatnya dari lantai empat gedung putri beberapa hari yang lalu.
"Ini, Ustadz, saya nganterin Sella. Dia tadi ada urusan bentar di klub jurnalistik."
Mendengar itu spontan Ustadz Danu berkata, "Oh, Iya, iya, Mi. Pantes saya pas ngitung Jumlah yang putri, kok, kayaknya kurang satu. Sella tenyata yang ketinggalan."
Gadis itu segera masuk ke ruangan. Berlari kecil ke arah sebuah kursi kosong di barisan ketiga, tepat di sebelah Mutia dan Rara, dua gadis dari kelas delapan.
"Sella..." gumam Alvin pelan. Ia tidak asing lagi dengan nama itu. "Itu Sella... Marsella yang suka nulis Itu, kan?"
Zaidan mengangguk singkat. "Iya, bener."
Cowok itu manggut-manggut. Pantas saja gadis itu tampak tidak asing. Sebelum ini, la sudah beberapa kali melihat atau mendengar namanya disebut-sebut. Saat kelas 10, la pernah penasaran terhadap gadis itu, yang katanya punya ketertarikan tinggi di dunia kepenulisan, juga mempunyai otak pintar dan bagus di bidang tahfidz.
Ah, iya, pantas saja gadis itu jadi Pansus, batin Alvin.
Selang beberapa menit kemudian, rapat segera dimulai. Ustadz Danu menanyakan kabar dan bagaimana 'kerja' para Pansus satu per satu. Secara bergantian pula murid-murid itu menjawab. Ada yang baik-baik saja, ada pula yang kesusahan karena amanah yang diberikan. Alvin sendiri tidak banyak bicara, la tidak punya keluhan atau merasa terbebani dengan amanah ini.
Yang membuat Alvin terkekeh geli adalah teman-temannya berusaha untuk terlihat serius. Namun tidak bisa juga menyembunyikan raut wajah bosan mereka. Bahkan satu-dua juga menguap, entah sengaja atau tidak.
Diam-diam, Alvin melirik ke arah barisan putri. Melihat wajah-wajah di sana yang justru kebalikan dari teman-temannya. Tidak ada garis wajah bosan. Mereka terlihat khusyuk mendengarkan kalimat demi kalimat dari Ustadz Danu.
Tatapannya terhenti di seorang gadis yang duduk paling pinggir. Gadis yang sempat menyita perhatiannya saat dia masuk ke ruangan tadi.
Sella. . Gadis kalem yang dikenal dengan kemampuan menulisnya.
Alvin menaksir kalau gadis itu hampir setinggi dirinya, paling hanya berbeda beberapa sentimeter. Jika dilihat tadi saat ia masuk ke ruangan. Gadis berkacamata itu tampak tenang dan memperhatikan Ustadz Danu di depan. Wajahnya terlihat dingin dan sedikit datar. Mungkin memang seperti itu raut wajahnya ketika sedang dalam kondisi serius.
Dulu, saat pertama kali melihat gadis itu, Alvin tidak merasakan apa pun. Berbeda saat la melihat Nasha, jantungnya langsung berdegup lebih kencang,
Sekarang, saat melihat gadis ini duduk di sana dengan jarak beberapa meter darinya, Alvin tidak juga merasakan apa pun. Namun satu yang la tahu: Rasa penasaran akan seorang Sella Sabitha Salsabilla belum juga berkurang. Gadis itu masih semisterius dulu saat ia pertama kali melihat sosoknya. Yang tidak Alvin sangka, gadis yang sedang la perhatikan diam-diam itu justru perlahan melirik ke arah barisan putra. Eh tidak, Alvin tidak mungkin salah, dia sedang menatap ke arahnya.
Tatapan mereka berduabertemu. Lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanyaah
Teen FictionSella tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta. Untuk pertama kalinya Sella merasakan pahit-manis perasaan tersebut, melupakan luka yang disebabkan oleh 'cinta pertama-nya. Di saat yang sama, tanpa ada yang tahu, Alvin adalah sosok ceria yang menyimpan...