Chapter 2 - Hilang Semangat

3 1 4
                                    

"Semua orang akan pergi meninggalkan kamu satu per satu, Vin. Ketika saat itu datang, kamu harus siap untuk menghadapi kerasnya dunia."


"Termasuk Bunda?"


"Iya, termasuk Bunda."


"Lalu, kalau Bunda nggak ada, Alvin sama siapa?"


"Orang-orang yang menyayangi kamu, yang siap menemani kamu, mendidik kamu, sebelum akhirnya meninggalkan kamu juga."


"Kenapa mereka semua harus pergi?"


"Yah, itu hukum alam, Vin. Begitulah semesta bekerja. Yang datang akan pergi. Setelah pertemuan selalu ada perpisahan."



Tak!

Cowok berbaju biru tua itu dengan gesit mengikuti arah bola bulu tersebut terlempar, lantas memukulnya kembali dan mendarat mulus di daerah lawan. Beberapa orang yang berdiri di luar garis lapangan bersorak riuh. Sementara seorang pria yang sejak tadi hanya dia memperhatikan langsung meniup peluit. Tanda bahwa pertandingan selesai.

"Pertandingan selesai Istirahat sebentar. Untuk babak final selanjutnya, Rauf dan Alvin."

Usai pria tersebut berkata demikian, cowok berbaju biru tua tersebut langsung melangkah keluar dari lapangan. Memutuskan untuk duduk di pinggir bersama teman-temannya yang telah menyeret kursi dari meja piket. Menonton pertandingan sepak bola yang diadakan tepat di sebelah lapangan bulu tangkis.

Lapangan mereka terletak tepat di depan asrama ini dibagi menjadi dua bagian yang masing- masing bisa digunakan untuk dua olahraga berbeda. Lapangan pertama yang terdapat tiang jaring di tengahnya biasa digunakan untuk bermain bulu tangkis atau voli. Sedangkan lapangan kedua yang terdapat tiang gawang dan tiang ring biasa digunakan untuk bermain sepak bola atau basket.

"Mainmu tadi kurang, Vin."

Cowok berbaju biru itu menoleh ke teman sebelahnya. Mengernyit heran. "Kurang gimana?"

"Kurang semangatlah." Cowok yang mengajaknya bicara itu terkekeh singkat. Lantas melanjutkan, "Belum liat Nasha, ya?"

"Ck, diamlah, Zai."

Cowok yang bernama Zaidan itu terkekeh kembali. Alvin bukannya menjawab, malah melempar pertanyaan baru. Namun sebenarnya tanpa menjawab pun, Zaidan sudah tahu jawabannya. Lihat saja, dari awal masuk lapangan hingga sekarang baru selesai, Alvin berkali-kali melempar pandangan ke arah asrama putri.

"Mereka lagi ekskul, Vin. Gak guna kau cari-cari dia di jam-jam kayak gini. Kalau pun dia keluar, memangnya kau bisa lihat dengan jelas mukanya?" Erick ikut mencibir. Membuat beberapa murid kelas delapan lainnya yang menyimak tertawa. Terlebih setelah melihat wajah kusut Alvin.

"Jangan kalian kayak gitu. Nanti si Alvin malah galau lagi," kata Fariz.

"Ah, susah kalau udah bucin", timpal Erick.

"Siapa yang bucin?" Alvin tidak terima.

"Iya, susah kalau ngomong sama orang yang lagi fall in love." Fariz berdecak.

"Dih, kayak kau nggak pernah aja," balas Zaidan cepat.

"Emangnya kau nggak pernah juga?" imbas Fariz.

"Udahlah, kalian kan berpengalaman. Coba hibur dulu si Alvin biar gak suntuk terus cuma gara-gara gak liat pujaan hatinya", jelas Erick.

Alvin keburu malas menanggapi mereka yang kini sibuk menggodanya lagi. Bilang kalau Nasha sedang sibuk mengikuti ekskul, kalau Nasha mungkin lagi bermasalah dengan kakak kelas atau dimusuhi teman-temannya sehingga jarang kelihatan di antara kerumunan murid kelas 11 putri. Bahkan malah main 'tebak-tebakan' perkara apakah Nasha akan membalas perasaan Alvin atau tidak. Itu adalah salah satu topik menarik untuk dibicarakan murid-murid kelas 11 putra.

Memang tidak alasan lain bagi Alvin mencuri-curi lihat ke asrama putri selain untuk mencari keberadaan Nasha. Hampir satu angkatan mereka juga tahu kalau Alvin menyukai gadis kebanggaan sekolah itu. Alasan yang bagus untuk menggoda Alvin. Bisa dibilang gadis itu adalah pembangkit semangatnya di saat-saat seperti ini.

Perasaannya hari ini tidak menentu. Ada banyak hal yang mengganjal di pikirannya. Mungkin teman-temannya menyadari kalau ia menjadi lebih pendiam hari ini, kurang bersemangat, sehingga mereka mencoba mencari pembicaraan yang kemungkinan membuat Alvin tertarik membahasnya.

Telepon yang la terima kemarin sore benar-benar mengganggunya. Kenapa tidak ada orang rumah yang berinisiatif memberitahunya lebih cepat? Haruskah ia selalu menjadi yang terakhir dalam mengetahui segalanya?

Alvin menghembuskan napas kasar.


----------


Asrama putri yang berada beberapa meter dari masjid terlihat lengang. Artinya para murid masih beraktivitas di dalam ruangan. Entah itu public speaking, komputer, tilawah, MHQ, kelas olimpiade, atau bahkan free time yang membuat beberapa murid putri terlihat bermain di lapangan asrama mereka. Ada beberapa murid yang berlalu-lalang di koridor. Mungkin juga ada guru yang harusnya mengisi kelas mereka tidak hadir sehingga jam mereka dikosongkan.

Mata Alvin memicing ketika ia menemukan sosok gadis berjilbab cokelat muda yang sedang menatap lurus ke arah lapangan putra. Gadis itu memeluk beberapa buku di tangannya. Ia termangu sejenak di sana sampai menyadari kalau ada sepasang mata yang tengah mengawasinya.

Kedua pasang mata itu bertemu. Kejadian itu berlangsung amat cepat. Alvin meneliti gadis itu sejenak. la pernah melihatnya, tapi ia tidak sempat mengingatnya.

"Vin! Alvin!", panggil Rauf karena pertandingan akan segera dimulai.

Tubuh cowok itu tersentak dan la buru-buru bangkit saat melihat Rauf sudah berdiri. Pelatih mereka sudah berjalan menuju lapangan. Yang artinya pertandingan akan segera dilanjutkan.

Alvin mencoba melirik ke arah asrama putri lagi. Namun ia tidak menemukan gadis itu di sana. Dia sudah pergi.


Namun, hal itu juga tidak bisa menepis rasa penasaran Alvin.


Dia yakin pernah melihatnya sebelum ini, tapi di mana?

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang