Chapter 9 - Mata Tajam

1 0 0
                                    

"Silakan kerjakan, ya, Anak-anak."

Seisi kelas hanya bisa menahan napas melihat selembar kertas pre test Bahasa Indonesia yang baru saja dibagikan oleh Bu Khadijah, atau yang biasa dipanggil Bu Dijah, wali kelas mereka sekaligus guru mata pelajaran ini.

Bisa dibilang ini cukup dadakan. Mereka baru masuk kelas lima belas menit yang lalu. Sepuluh menit yang lalu mereka diperintahkan untuk membaca bab baru sebelum mengerjakan pre test. Jadilah tiga puluh dua murid itu sontak membuka buku dan membaca singkat. Mengingat dan menghafal yang penting-penting. Namun ada juga yang tidak tertarik, memilih untuk membaca sekilas, lalu beralih bicara dengan temannya atau mengerjakan hal lain.

Sepuluh menit kemudian, Bu Dijah menyuruh mereka menutup buku dan mulai membagikan kertas pre test. Beruntungnya tidak banyak, karena ini adalah latihan awal sebelum mereka mulai membahas materi ini.

Sella tidak ambil pusing mengerjakannya. Ia selesai selang sepuluh menit kemudian. Di samping ia menyukai pelajaran Bahasa Indonesia, materi yang dibahas hari ini juga lumayan mudah. Materi teks puisi.

Sementara teman-temannya masih mengerjakan soal masing-masing, la mengambil buku catatan berwarna hijau. la biasa menggunakan buku itu untuk menulis ide cerita, outline, atau satu sampai dua draft dari ceritanya.

Biasanya, saat la menulis sebuah scene, di otaknya akan tergambar otomatis bagaimana kira-kira wajah tokoh, latar, atau apa pun yang la tulis. Di draf cerita yang ia tulis sekarang, la sedang mencoba menggambarkan keadaan seorang remaja laki-laki yang berjalan lemas di bawah guyuran hujan,

Tubuhnya menggigil kedinginan. Refleks ia memeluk dirinya sendiri, mencoba untuk memberi kehangatan meski akhirnya sia-sia. Wajahnya basah terkena air hujan. Kakinya mulai terasa berat, pertanda kalau sebentar lagi mungkin ia tidak akan sanggup meneruskan perjalanan. Matanya mulai berkunang-kunang, jalan di depannya berbayang-bayang, tidak jelas.

Sella berhenti tepat di kata terakhir. Ia mengernyit sambil memegang kepalanya. Tadi, perlahan la bisa membayangkan gambaran sosok Galang, tokoh ceritanya, yang tengah dalam keadaan payah di bawah hujan. Namun yang malah terpikir malah wajah Alvin yang ia lihat tadi malam. Sedetik kemudian ia yakin kalau itu hanya kebetulan. Mungkin karena tadi malam la melihat Alvin yang sedang sakit dan kondisinya hampir mirip dengan sosok Galang, maka yang terpikir olehnya adalah Alvin. Ya, itu hanya kebetulan.

Tap! sepanjang Sella berusaha menyelesaikan draf baru itu, sepanjang itu pula la harus menahan rasa bingung karena la terus-menerus membayangkan wajah Alvin. Beberapa kali la terhenti sejenak, menarik napas, baru melanjutkan lagi. Dengan harapan bahwa bayangan cowok itu bisa enyah dari pikirannya.

"Astaghfirullah..." Sella bergegas mengusap wajahnya saat bayangan Alvin muncul lagi. la sedikit kesal, namun juga bingung.

Bayangan itu tidak bisa pergi. Seakan sudah benar-benar melekat di pikirannya. Bahkan sekarang bayangan saat kal bermain bulu tangkis dan tersenyum itu ikut mampir, membuat Sella semakin tidak fokus.

"Kenapa harus dia?" gumam Sella.

Setelah makan siang, Sella langsung terburu-buru pergi ke ruangan klub Jurnalistik bersama Beby, salah satu teman dekatnya yang juga anggota klub. Kata salah satu adik kelas tadi, mereka dipanggil oleh Raya, ketua klub, yang akan memberikan tugas baru mereka untuk majalah edisi baru nanti.

"Sella, Beby, Kakak kasih kalian tugas untuk meliput suasana ujian akhir semester nanti. Dicicil saja dari hari pertama ujian, biar di akhir ujian nanti, kalian bisa langsung kasih laporannya ke Kakak dan direvisi sama Kak Yara. Gimana? Jelas, kan?" tanya Raya setelah menjelaskan tugas pada dua juniornya ini. Lantas la mengangguk puas setelah Sella dan Beby mengiyakan.

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang