Kata orang, rumah adalah tempat untuk pulang.
Sejauh apa pun kaki ini melangkah, sehebat apa pun pemandangan atau pengalaman yang kau temukan di luar sana, tetap saja, sepasang kaki yang setiap manusia miliki ini, akan kembali mencari arah menuju rumah. Menuju tempat pulang.
Rumah ini pernah menjadi tempat yang paling disukai oleh seorang Alvian Arseno. Ada kehangatan yang selalu menyambutnya ketika melewati bingkai pintu depan. Ada jutaan kasih sayang yang tak pernah lelah menyapanya setiap pagi. Dan ada banyak kenangan indah yang terukir di setiap sudut rumah ini.
Namun itu dulu, setidaknya sebelum wanita itu pergi begitu saja dari rumah.
Sejak saat itu, rumah ini tidak pernah menjadi tempat berpulang yang sama. Kehangatan dan jutaan kasih sayang itu menghilang. Ukiran-ukiran kenangan tersebut mendadak memudar. Sebisa mungkin, Alvin menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah. Pergi dan berlari dari segala kenyataan yang menghancurkan hidup bahagianya, menghapuskan kenangan masa kecilnya. Berteriak melepaskan semua amarah, kecewa, dan takutnya agar semesta mau mendengarkan.
Semuanya berubah. Namun Ayah tidak pernah membiarkan perubahan itu dirasakan oleh Alvin dan adik-adiknya. Beliau berusaha keras untuk memegang juga peran ibu yang ditelantarkan begitu saja. Alvin menjadi saksi bagaimana Ayah membangunkan mereka setiap pagi, menyediakan makanan, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan sederet pekerjaan lain yang harusnya diurus oleh wanita itu. Alvin masih kecil saat pertama kali melihat perjuangan mati-matian ayahnya, namun ia memaksakan diri untuk ikut membantu karena tidak tega melihat air mata dan keringat hasil kerja keras pria itu.
Dan seperti malam-malam sebelumnya, selalu ada kursi yang kosong di meja makan. Alvin termangu menatap kursi itu setelah selesai menaruh makanan hasil buatan ayahnya di meja makan. Kursi ini, Ayah mati-matian mempertahankannya. Kursi yang selama beberapa tahun menjadi singgasana wanita itu seakan amat berharga baginya. Boleh jadi tidak ada yang sadar, tapi Alvin tahu, bahwa ini bukti bahwa Ayah masih sangat mencintai wanita itu.
"Bang? Nggak makan?" Colekan pelan di lengan Alvin membuat cowok itu tersentak, lalu bergegas duduk di sebelah Rion yang sudah menikmati makanannya la segera mengambil makanan agar ayahnya tidak curiga.
"Ayah perhatiin kamu sering melamun, Bang. Kenapa? Ada yang kamu pikirin?"
"Nggak ada, Yah. Nggak penting," jawab Alvin sambil tersenyum tipis, berharap itu bisa meredakan kekhawatiran ayahnya.
Ayah menatapnya penuh selidik "Yakin? Nggak ada yang mengganggu kamu, kan?"
"Atau jangan-jangan, Abang lagi mikirin cewek, Yah." Tiba-tiba saja Ica menyeletuk iseng. Anak perempuan berusia sembilan tahun itu hanya nyengir kuda ketika Alvin melotot ke arahnya.
"Eh, beneran, Bang?" Pandangan Ayah beralih lagi ke Alvin. Namun kali ini, nada bicaranya Ayah tengah menggodanya.
"Beneran, Yah. Tadi pas mau pulang aja Abang liat ke arah area putri!" Rion ikut mengompori, lalu memeletkan lidahnya kepada Alvin yang hendak menyikutnya.
"Oh, ya? Siapa itu, Bang?"
Wajah Alvin terasa panas sekarang. Lengkap sudah tiga orang ini menggoda dan berakhir menertawakan wajahnya yang memerah menahan malu. Beruntungnya sebelum kedua adiknya yang nakal semakin menjadi, Ayah segera melambaikan tangan. Meminta mereka untuk meneruskan makan malam.
Topik meja makan malam ini hanya seputar sekolah dan rencana selama liburan beberapa pekan ke depan. Sesekali tawa mereka pecah, menjadi pelengkap pembicaraan keluarga malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanyaah
Teen FictionSella tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta. Untuk pertama kalinya Sella merasakan pahit-manis perasaan tersebut, melupakan luka yang disebabkan oleh 'cinta pertama-nya. Di saat yang sama, tanpa ada yang tahu, Alvin adalah sosok ceria yang menyimpan...