Jika disuruh menyebutkan hal yang biasanya menjadi pelarian saat sedih atau marah....
Sreett! Tak!
... maka Alvin tidak akan ragu untuk menyebutkan bulu tangkis.
Sejak kecil la tertarik pada olahraga ini, lebih tepatnya setelah melihat sang Ayah bermain saat hari kemerdekaan beberapa tahun yang lalu. Raket, bola bulu, dan jaring net sudah menjadi dunia Alvin. Setiap kali ada pertandingan bulu tangkis, dia selalu mengusahakan untuk ikut. Tak lupa saat bertanding, dia membawa raket hitam dengan garis - garis biru kebanggaannya yang menemani la bermain sejak pertama kali mengenal olahraga tersebut.
Di rumah, la berlatih bersama ayahnya yang dulu merupakan pemain bulu tangkis kebanggaan sekolah. Kadang juga dengan Om Brama, yang sempat masuk sekolah bulu tangkis, namun sayangnya terpaksa berhenti karena tidak punya cukup biaya setelah ayahnya di-PHK.
Impian Ayah dan pamannya untuk menjadi pemain bulu tangkis nasional terpaksa dikubur, dan Alvin bertekad untuk mewakili mereka mewujudkan impian tersebut. Itu sebabnya la giat berlatih, baik di rumah mau pun di sekolah.
Beruntungnya, di SMA la bertemu dengan Pak Adam yang berkali-kali memenangkan pertandingan bulu tangkis dan katanya pernah hampir menjadi pemain bulu tangkis nasional. Meski umurnya hampir menginjak lima puluhan tahun, skill dan semangatnya masih terbilang luar biasa.
Tak!
Dengan cepat la memukul kok tersebut kembali ke area lawan. Napas Alvin agak tersengal, keringatnya sudah membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya sedikit mengerut, menyiratkan bahwa dirinya mulai kelelahan.
Tak disangka, Zaidan yang sedang berperan menjadi lawannya memilih untuk membiarkan kok tersebut jatuh ke areanya. Membuat poin Alvin secara otomatis bertambah.
"Oii" Alvin mengernyit bingung.
Zaidan hanya mengangkat bahunya. "Duduk dulu kau sana. Udah mulai pucat muka kau. Nanti kalau sakit lagi kayak kemarin, kan, ribet," ujar cowok itu.
Alvin menyeka keringatnya, lalu berjalan ke koridor lantai satu yang ramai oleh murid - murid klub tenis meja. Dia duduk di salah satu kursi dan meneguk minumnya yang tadi ia letakkan di meja piket.
"Alvin, ada telepon, nih!" Cowok itu nyaris saja tersedak karena suara berat yang berasal dari ruang musyrif di belakangnya. Cepat-cepat la berdiri dan berjalan menghampiri Ustadz Zul di depan ruang musyrif.
"Serius, Ustadz?" Alvin nyaris tidak percaya. "Dari Ayah?"
"Iya, dari Ayah kamu." Pria berumur sekitar empat puluh tahun itu menyodorkan handphone yang segera Alvin ambil. Ia bergegas duduk bersandar di dinding batas di depan ruang musyrif. Ragu - ragu mendekatkan benda pipih itu ke telinganya.
"Assalamu'alaikum?"
"Wa'alaikumussalam, apa kabar, Bang? Udah lama kayaknya Ayah gak dengar suara Abang, ya, hehehe." Suara berat itu berhasil membuatnya menelan ludah. Matanya mendadak memanas, la amat merindukan suara tersebut.
"Ba-baik, yah. Ayah sehat?" Pertanyaan bodoh. la ingat sekali bahwa beberapa hari lalu Om Brama mengabari kalau ayahnya sakit.
Ayahnya terbatuk singkat. "Alhamdulillah, Ayah sehat banget. Apalagi habis dengar suara penghafal Qur'an kebanggaan Ayah ini."
Mata Alvin sudah berkaca-kaca, terlebih ketika mendengar jawaban ringan dan suara ceria khas ayahnya, yang jelas lebih terdengar seperti dipaksakan. "Serius Ayah sehat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kanyaah
Teen FictionSella tidak pernah tahu rasanya jatuh cinta. Untuk pertama kalinya Sella merasakan pahit-manis perasaan tersebut, melupakan luka yang disebabkan oleh 'cinta pertama-nya. Di saat yang sama, tanpa ada yang tahu, Alvin adalah sosok ceria yang menyimpan...