Chapter 14 - Sepi Yang Kurasakan

1 0 0
                                    

"Minggu depan musim remedial Hari Rabu nya selesai ujian tahfidz! Terus jam kosong! Jam kosong lagi, tapi dalam mimpi! Terus hari Sabtu, tanggal 18 kita pulang ke rumah masing-masing. Terima kasih sudah menyimak pembacaan jadwal untuk dua minggu ke depan. Semoga tidak membantu kawan-kawan sekalian. Sekian dan terima gaji."

Alvin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah absurd Rauf Bagaimana tidak, dia baru masuk beberapa menit yang lalu, dan belum ada satu menit di kamar tiba-tiba ia menyambar kalender kecil yang tergantung di pintu lemari Zaidan. Sudah begitu ia malah mengabaikan teguran sang pemilik dan beranjak naik ke kasurnya yang berada di atas Alvin. Lantas membaca keras-keras tulisan-tulisan kecil di bawah tanggal yang Zaidan tulis.

"Emang gak ada akhlak kau, ya, uff" ujar Zaidan sewot la sengaja menarik-narik kaki temannya itu. "Nggak ada sopan-sopannya kau sama yang lebih tua!"

"Lah, sadar udah tua?" celetuk Rauf tanpa dosa.

Zaidan hanya menatapnya garang, lantas kembali menarik-narik kaki Rauf, "Balikin cepet! Atau kutarik kaki kau sampe jatuh!" "ish, iya, lya" Rauf mengalah. Ia melempar kalender Zaidan yang beruntungnya bisa ditangkap sang pemilik dengan cepat. Zaidan yang sempat memanjat tangga kasur akhirnya melompat turun. Tak lupa juga melemparkan tatapan sinis ke arah Rauf yang justru lanjut mengoceh, "Ya Allah, galak kali kau, Zai. Udah kayak mamak-mamak kutengok."

"Makanya akhlak kau itu dipake," gerutu Zaidan sambil menggantung kembali kalender kecilnya.

Fariz terkekeh. "Kau pulak masuk-masuk udah ngerusuh. Ngamuklah dia."

"Habis dari mana kau, Riz? Kok, baru balik?" Alvin melempar pertanyaan.

"Habis silaturahmi ke ruang musyrif," Jawab Fariz singkat. Ia beranjak turun dari kasurnya.

"Emangnya kau habis ngapain?" tanya Zaidan.

"Hah?"

"Kau ngapain sampai harus ke ruang musyrif?"

"Oh, aku tau. Pasti kau habis mecahin kaca kamar orang, kan?" tuduh Adi sambil tergelak. Fariz berdecak. "Heh, emangnya aku harus berulah dulu baru bisa silaturahmi ke ruang musyrif? Orang tadi mamakku nelpon, kok, nanyain kapan kira-kira bisa dijemput."

"Oalah, dasar anak mami," ejek Adi, bermaksud untuk bercanda.

"Biarin, daripada anak hilang." balas Fariz

"Dia, mah, bukan anak hilang. Tapi hobi 'ngilang," Zaidan.

"Oh, Iya. Fariz, kan, hobinya nge-ghosting anak orang," Erick menimpali dan kemudian tertawa terbahak-bahak bersama yang lain.

Sementara Fariz yang namanya disebut-sebut hanya melotot garang. "Mana ada."

"Jahat kali kau, Riz. Kasian anak orang kau ghosting" tambah Rauf tak mau kalah.

"Sembarangan kau, ya, kalau ngomong. Terus kau sama dia emang kek mana?" Fariz membalas sengit, lantas terkekeh melihat wajah Rauf yang berubah masam.

"Gak usah ngungkit-ngungkit yang kek gitulah."

"Lah, tadi kau juga, kok. Impas, dong!"

"Tau, tuh, si Rauf! Ngeles aja!" Zaidan ikut mengompori.

Alvin menepuk kepalanya pelan mendengar perdebatan yang kemudian terjadi. Suasana kamar mulai rusuh. Kini Rauf juga menjadi objek bully mereka. Tentu saja Fariz tidak diam saja dan menyeret yang lain agar ikut di bully. Sebenarnya sejak, Alvin Ingin sekali ikut dalam perbincangan, bukan hanya diam dan tertawa samar ketika teman-temannya melakukan tingkah konyol. Namun Alvin tidak bisa berhenti dibuat berpikir oleh kalimat santai Fariz tadi.

KanyaahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang