Kala tak bergeming. Memandang gadis yang sangat ia kenal. Iya. Triska memakai apron yang sama dengan pelayan cafe lainnya. Apron berwarna cokelat dengan bunga teratai di masing-masing sakunya.
"Kal?" Suara Lana membuat lamunan Kala buyar.
"Eh? Iya kenapa, Na?"
"Lo.. Kenal sama Triska?"
Matilah. Kala harus menjawab apa?. Apakah jujur adalah jalan terbaik?. Tidak, ia belum siap.
"Eungg, kaya pernah liat sih. Oh iya, cuma karena apron yang ga sengaja lo kotor itu, dia jadi ga suka lo?"
Lana menghela nafas.
"Dulu, awal dia kerja, dia nolak buat pake apron cafe, karena dia suka pakai apron yang dibeliin mendiang papanya. Gue ga sengaja numpahin kopi waktu itu. Dan ternyata ga taunya nodanya membekas.Dia marah banget sama gue. Terlebih apron itu oleh-oleh dari London waktu papanya kerja disana" Lana mengusap maniknya.
"Satu lagi, dia nggak suka sama gue karena bos lebih merhatiin kerja gue daripada dia" Lagi, Lana menggigit bibirnya, khawatir.
"Lo tenang aja, Na. Coba, minta nomor hp lo. Ntar gue bantu ya?" kata Kala lembut.
Setelah Lana memberikan nomor hpnya, Kala lantas pamit pulang. Ia akan membicarakan hal ini dengan Nata.
"Capek, bang. Tugas seambrek, seakan dosen nggak pernah kasih kesempatan buat istirahat" keluh Nata, memandang manik Abi. Abi terkekeh. Lantas, pemuda itu mengusap lembut surai Nata.
"Jalanin aja yang ada. Toh, kita juga nggak berwenang buat menghentikan dosen atau ngatur dosen. Yang penting, kamu nikmatin aja prosesnya. Kalau capek, istirahat bentar" kata Abi. Nada bicaranya begitu lembut dan menyejukkan. Abi selalu tahu cara menenangkan hati adik-adiknya.
"Abang pernah benci diri sendiri enggak?" tanya Nata spontan. Abi tertegun sesaat. Helaan nafas terdengar dari si sulung itu.
"Abang pernah di fase itu, tapi setelah abang sadari, apa gunanya juga benci diri sendiri? Yang ada kita malah stres atau malah sampai depresi" balas Abi.
Nata menyugar rambutnya asal.
"Jangan membenci diri sendiri, Ta. Ingat, manusia punya batas kemampuan" bisik Abi, mengecup singkat pipi adik keduanya itu.
Nata mengangguk.
"Abang harus sama kita ya? Selamanya?" ujar Nata, lembut, tetapi penuh harap. Bocah yang dulu hanya bisa merengek minta dibelikan es krim, sekarang hanya merengek untuk bisa terus bersama sang kakak, selamanya.
"Iya, Ta. Kalau abang masih diberikan skenario yang lebih" lirih Abi. Nata mengangguk. Ia tahu betul bagaimana seorang Abiyasta menanggapi permintaan nya yang satu itu.
Tak ada yang tahu tentang hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢 ✔ [ revisi ]
FanfictionBagi keenam adiknya, si sulung itu keren. Ia mampu memendam seluruh rasa letihnya hanya untuk membuat adik-adiknya tak khawatir padanya. Hidup tanpa adanya sosok ibu dan ayah itu memang sulit, tapi si sulung dengan tekadnya, mampu menjadi kakak sek...