Pemuda berkulit putih bengkoang itu tersenyum begitu memasuki cafe kesayangannya yang masih setia berdiri bertahun-tahun lamanya itu. Banyak kenangan dan memori manis yang tersimpan rapat pada setiap sudut bangunan vintage beraroma kopi yang khas itu.
Seusai memesan segelas vanilla latte hangat, ia memilih untuk duduk di dekat jendela cafe. Tak banyak yang berubah dari kota ini. Banyak tempat-tempat yang masih setia berdiri dari ia masih kecil sampai sekarang.
Kalau dipikir, ia sangat bangga kepada dirinya sendiri. Semenjak kepergian kakak laki-lakinya dua tahun lalu, pemuda itu awalnya sedikit berantakan untuk mengambil alih posisi sang kakak. Namun, lambat laun, ia mulai mengerti dan mulai sigap untuk mengendalikan seluruh posisi si sulung. Kelima adiknya pun demikian.
"Abang!"
Kalandra Keanu Wijaya. Pemuda itu menoleh ke arah pintu cafe. Disana, pemuda dengan rambut acak-acakan dan dengan tangan yang membawa laptop berlari menghampiri Kala, lalu duduk di depan pemuda itu.
"Tumbenan. Mau ngapain?" Kala terkekeh sembari meneguk minumannya.
Aksara. Pemuda itu dengan semangat membuka laptopnya dan mulai fokus mengetik sambil sesekali membenahi rambutnya.
"Mau disini aja. Nyusun kegiatan buat acara kelulusan. Tapi, maunya ditemenin abang," kata Aksara, tersenyum sampai matanya membentuk bulan sabit.
Kala tertawa. Lantas, mengacak-acak rambut adiknya.
"Tau dari mana abang disini?" tanya Kala lagi. Kali ini, dia sambil memesankan minuman untuk Aksara pada seorang pelayan laki-laki yang berdiri tak jauh dari tempat Kala duduk.
"Dari Kak Lana, dong. Siapa lagi?" Aksara tertawa.
"Naik ojek online?"
"Iya. Kalau lari, makan waktu 15 menit kali, bang. Capek!" sahut Aksara, terkekeh di akhir kalimatnya. Kala tersenyum.
"Udah mantep mau masuk jurusan apa?"
"Hmm. Sastra aja kali ya, bang? Atau seni musik ya?" Aksara mengetukkan jari telunjuknya pada dagunya.
"Pastinya, yang bener-bener cocok sama passion lo, Ra." ujar Kala. Aksara mengacungkan jempolnya. Ia akan memikirkannya lagi nanti--dan meminta pendapat kakak-kakaknya.
"Aksara." panggil Kala.
"Hm?"
"Abang kangen Bang Abi," ujar Kala, sembari menopang dagunya. Pandangannya menerawang jauh ke luar jendela.
"Gue juga kali, bang. Enggak kerasa aja ya?" Aksara menghela nafas panjang.
"Gue juga enggak nyangka juga bakal bisa berada di posisinya Bang Abi, Ra. Gue pikir, gue dulu ga bakal pernah bisa karena gue udah cukup bergantung sama Bang Abi."
"Tapi, nyatanya, lo bisa kan bang? Keren!"
Seorang pelayan laki-laki datang mengantarkan segelas cappucino latte hangat pesanan Kala. Begitu melihat isi cangkir putih itu, Aksara tersenyum lebar.
"Lo masih inget kesukaan gue bang? Wah, daebak!" Aksara mengacungkan jempolnya. Terbiasa mendengar kosa kata Bahasa Korea dari Lana yang belakangan ini suka menonton drama Korea, membuat Aksara juga ikut-ikutan hafal.
"Ya kali gue ga inget! Padahal dulu lo tuh sukanya vanilla latte tau." imbuh Kala, terkekeh di akhir kalimatnya. Aksara pun hanya tertawa kecil sembari menyesap minumannya.
"Eh, Langit kemana? Bukannya tadi di rumah berdua sama lo?"
"Langit pamit main bareng Ayden, bang. Makanya biar ga sendiri, gue kesini aja." jawab Aksara.
"Aksara."
"Iya, bang?"
"Apapun yang terjadi nanti, tetep jadi bontot kesayangan abang ya? Tetep jadi Aksara yang abang tau."
"Apaan sih, bang!" Aksara tertawa renyah begitu melihat ekspresi Kala yang nampak serius sekaligus menggemaskan di matanya.
"Shuuttt! Dengerin dulu. Bentar lagi, lo udah kuliah. Jangan sering bolos. Kalau sering bolos, gue bakal marah banget sama lo. Inget ya!"
"Iyaa, iyaa, bang. Duh, serius banget." goda Aksara. Mentang-mentang badannya lebih tinggi dari Kala, ia bisa seenaknya menggoda Kala. Sebenarnya Kala juga tidak masalah, toh Aksara juga tidak akan kelewatan menggodanya.
"Suntuk banget, bang. Cabut yuk." ajak Aksara, berniat mengajak Kala keliling kota atau sekadar pergi ke danau. Kala tahu, yang dimaksud 'cabut' itu adalah jalan-jalan untuk menyegarkan diri dan mengusir kesuntukan mereka. Pemuda itu memilih mengangguk.
"Kemana enaknya?" Kala merogoh sakunya, lalu menyodorkan kunci motor miliknya ke hadapan Aksara. Karena Aksara lebih tinggi darinya, maka Aksara-lah yang harus mengendarai motor Kala.
"Muter-muter aja. Cari angin." ujar Aksara, menerima kunci motor itu.
Kala hanya mengangguk. Pemuda itu senang bisa berkeliling sekadar melepas suntuk dan lelah yang bersinggah di dirinya, bersama si bungsu. Sejatinya, sebagian besar kebahagiaan Kala terletak pada adik-adiknya. Jika adiknya senang, maka Kala juga akan senang. Apapun untuk kebahagiaan adik-adiknya, meski itu sulit sekalipun.
Kala akan tetap berusaha untuk bisa selalu ada untuk adik-adiknya. Sifat Kala memang tidak persis seperti mendiang Abi. Tapi, Kala tahu, posisinya sekarang menempati posisi Abi. Ia menjadikan Abi seorang panutan. Sebagai kakak yang sabar, selalu ada untuk adik-adiknya dan tentu saja yang selalu menyayangi adik-adiknya dengan tulus.
___________
annyeong, yeorobun-deul!
HAHAA, kaget enggak kaget enggak?
say hi again to tujuh mimpi setelah mangkrak dengan keterangan end yaaa hahaha. aku berencana bikin book ini versi season 2. tapi aku masih bingung. nantii aku pikirin lagii yaa!! hope you guys like this! thankseuuu🤍
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐓𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢 ✔ [ revisi ]
FanfictionBagi keenam adiknya, si sulung itu keren. Ia mampu memendam seluruh rasa letihnya hanya untuk membuat adik-adiknya tak khawatir padanya. Hidup tanpa adanya sosok ibu dan ayah itu memang sulit, tapi si sulung dengan tekadnya, mampu menjadi kakak sek...