Side Story : Kalau Kata Abang

592 44 1
                                    

Hainan menjatuhkan dirinya di sofa karena kelewat lelah setelah mencuci tangan dan berganti baju. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ia baru saja pulang dari rumah temannya, untuk mengerjakan serangkaian proyek kelompok yang sedikit rumit.

"Malem banget pulangnya?"

Hainan menoleh. Ada Abi disana dengan senyum manisnya, berjalan menuju Hainan dan ikut merebahkan dirinya di sofa.

"Proyeknya rumit banget. Capek." keluh Hainan. Abi tersenyum kecil. Lalu, mengusap-usap rambut Hainan.

"Enggak apa-apa. Yang penting, udah ngelakuin yang terbaik." ujarnya.

Abi selalu punya cara untuk menenangkan hati adik-adiknya. Nada bicaranya yang lembut membuat siapapun yang mendengarnya ikut tenang.

"Bang." Hainan memanggil Abi, sementara ia mengambil posisi tiduran dengan paha Abi sebagai bantalnya.

"Hmm?" Abi pun menjawab sembari memainkan rambut Hainan.

"Menurut abang, manusia itu wajar kan buat capek? Dalam artian apapun?"

Abi terdiam sesaat. Hembusan nafas teratur nya terdengar, mengisi keheningan sesaat.

"Wajar. Nangis itu juga wajar banget. Tapi, kadang, manusia milih buat mendem semuanya. Padahal, enggak terlalu baik juga, iya kan?" sahut Abi.

"Pasti capek ya bang, mendem rasa sakit sama nangis tuh?" celetuk Hainan. Abi mengangguk.

"Bang, kalau misalkan, Hainan pengen banget ngelakuin suatu hal. Hainan udah berusaha sekuat mungkin, sekeras mungkin, tapi, tetep gagal, boleh enggak Hainan kecewa sama diri sendiri?"

"Menurut abang, boleh aja. Itu artinya kamu merasa kalau usaha kamu memang belum maksimal dan kecewa itu normal."

Hainan mengangguk paham.

"Tapi, kadang kecewa sama diri sendiri terlalu lama itu juga ga terlalu baik. Bikin males ngelakuin apapun lagi kan? It's okay not to be okay. Kecewa boleh, capek boleh, nangis boleh, tapi jangan kebablasan. Harus bangkit lagi, buat raih apa yang kamu pengen. Target kamu sendiri harus kamu dapetin." ujar Abi sembari melukis kurva kecil di bibirnya.

"Sayang deh, sama abang." Hainan tertawa. Abi ikut tertawa.

"Abang juga sayang sama Hainan."

"Bisa nggak bang, terus sama Hainan sampai Hainan sukses nanti?"

"Abang usahakan ya? Hidup enggak ada yang tau, Nan." kata Abi, memandang wajah adiknya yang nampak kelelahan.

"Iya, juga sih. Tapi, Hainan berharap, abang terus di sini, sama Hainan, sama yang lain, dalam waktu yang lama kedepannya." kata Hainan, tersenyum sembari menatap wajah teduh kakak sulungnya itu.

"Hmm.. Mau minum teh bareng abang nggak?" tawar Abi. Hainan langsung sumringah.

"Mauu!"

"Yaudah, yuk."

Hainan langsung bangkit dari posisi tidurannya. Lalu menyusul Abi menuju dapur. Terhitung sepuluh menit, akhirnya dua gelas teh hangat manis buatan Abi terhidang di meja makan. Sementara kedua pemuda itu duduk berhadapan.

Hainan meneguknya perlahan. Begitu nikmat teh buatan si sulung. Bahkan, Hainan merasakan rasa lelahnya sedikit menghilang setelah ia menenggak minumannya.

"Nan."

"Iya, bang?"

"Sekolah yang rajin, ya? Bikin bangga mama papa disana. Bikin bangga abang juga." ujar Abi, meninggalkan senyuman manis di akhir kalimatnya.

"Iya, bang. Hainan bakal berusaha sekuat Hainan!" Pemuda itu mengambil posisi hormat, yang disambut tawa renyah khas Abi.

"Kalau kata abang nih ya, nanti di proses kamu itu, bakal ada rintangan buat menuju target kamu. Kadang bikin capek, sampai bikin nangis. Tapi, itu wajar. That's a life. Inget, life goes on. Kehidupan bakal terus berjalan. Nggak akan cuma stuck di kesedihan aja. Jadi, pesan abang, apapun yang terjadi, jangan pernah berpikir buat berhenti ataupun menyerah, ya?" Abi menatap netra Hainan. Hainan tertegun sesaat.

Namun, pemuda itu akhirnya tersenyum. Mengangguk mantap. Ia turun dari kursinya, dan beralih duduk di samping Abi.

Ia peluk daksa si sulung yang sudah berkorban banyak untuk keluarga ini. Hainan tahu, daksa ini menyimpan banyak rasa letih. Namun, terkadang, Abi terlalu lihai menutupinya.

Terus ia dekap daksa sang kakak. Berharap seluruh rasa letih Abi ikut melebur. Abi pun balas mendekap daksa sang adik.

"Sehat selalu ya, bang. Hainan sayang banget sama abang."

"Abang juga sayang banget sama Hainan."

"Hainan enggak tahu kapan abang bakal perginya nanti, tapi selagi abang masih ada sama Hainan dan yang lain, Hainan akan terus ada buat abang, ya?" ujar Hainan, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Abi.

"Iya, Nan. Abang juga bakal terus ada buat Hainan dan yang lain, selagi abang masih di dunia ini, ya?"

"Udah. Yuk, tidur?" Abi melepaskan dekapannya. Lantas memandangi wajah adiknya. Ia singkirkan beberapa helai rambut yang mengganggu. Lalu, ia kecup kening sang adik.

Dan dengan begitu, mereka memutuskan untuk segera tidur di kamar masing-masing.







































































































___________________
aku kangen sama abi ಥ_ಥ
so, aku bikin ini deh! side story itu
kaya part dari sebuah cerita yang bisa
diselipin setelah epilog ya? gitu nggak si? cmiiw ya! aku beranggapan juga side story itu kaya buat flashback atau pokoknya semacam part selipan
abis epilog gituuu. koreksi ya kalau salah!

sebenernya, aku nulis ini karena iseng juga. aku kaya nulis semacam penyemangat buat kalian lewat abi hehe. semoga suka yaa, dan semoga dengan ini kangennya kalian sama abi terobatii

thankss all! lovee youu souu much! ♡

𝐓𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐌𝐢𝐦𝐩𝐢 ✔ [ revisi ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang