5 | Sakaratul Maut

6 3 2
                                    

    Empat hari setelahnya, aku duduk lesu di tangga sambil menggigit pulpenku. Disitulah aku merasakan yang namanya kegalauan. Lucid dream itu adalah mimpi terakhirku. Setelahnya, tidurku benar-benar hampa. Pasti, dia marah kepadaku. Aku bisa menalarnya, siapapun akan marah jika benda spesialnya dirusak. Aku dulu juga marah saat Bang Vasant menginjak mobil-mobilanku hingga remuk.

    Tapi apakah dia tidak membutuhkanku lagi? Apakah dia akan berhenti membujuku? Atau dia sudah menemukan orang lain untuk menolongnya? Ah, aku kesal memikirkannya setiap hari! Aku tidak merindukannya, tapi aku merindukan lucid dream? Mimpi sadar itu telah membuatku kecanduan! Aku ingin lagi dan lagi!

    Hari itu, aku pernah mencoba tips dari internet tentang cara mendapatkan lucid dream. Tetap saja cara itu tidak mempan. Aku benci mengakuinya ... mungkin berteman dengan Ashlyn membuatku mudah bermimpi sadar. Tapi mau ditaruh mukaku? Aku sudah menolaknya dengan keras!

     Aku menghembuskan napas dan mencabut pulpenku.

    "Hei, lagi apa kau?" Seseorang menepuk pundakku dan duduk di sampingku. "Lihat, nggak sopan banget kita, duduk di sini."

    "Rez ... ki?" Aku heran, kenapa dia menghampiriku. Biasanya kami hanya saling menyapa tanpa mengobrol.

    "Iya, kenapa kaget begitu? Apa sih yang kau lamunin? Cewek?"

    "Benar ... tapi salah."

    Dia tertawa, "Suka cewek mana? Seangkatan atau kakak kelas?" godanya.

    "Aku nggak tau, nggak peduli, dan aku nggak suka dia."

    Dia menyandarkan kepalanya pada samping tangga, "Kau masih gengsian ya?"

    "Kau pikir aku sudah berubah? Hanya kau yang berubah tau!" Aku sedikit merajuk saat itu.

    "Oh, makasih, aku memang tambah ganteng habis sekolah online." Rezki menempelkan telapak tangannya ke pipinya dengan sok imut.

    Aku hanya membalasnya dengan tatapan sinis dan membuatnya terbahak-bahak, namun setelah itu dia tidak membuka percakapan lagi. Aku ingin memulainya, tapi rasanya canggung sekali.

    "Udah sembuh, Rez?" tanyaku dengan hati-hati.

    "Memang aku sakit?" Rezki bertanya balik.

    "Ya ... aku ndak tau."

    "Duh ... Azriel, ayo buka percakapan lagi!"

    "Emm, di desa sini udah mulai musim layangan. Tapi desaku belum, kalau desamu?" tanyaku kikuk.

    "Udah mulai satu dua. Mungkin besok baru rame .... " ujarnya. "Mau main bareng?" tawar Rezki singkat namun membuatku berdebar.

    Senyumku mengembang. Dia pasti teringat kami dulu saat bermain layang-layang bersama. Baik, ini kesempatan yang bagus untuk memperbaiki persahabatan kami, "Boleh!"

    "Yah, tapi nggak bisa nanti atau besok. Soalnya aku harus buat lagi layangannya. Yang dulu keidak (terinjak), emm ... waktu mati lampu," jelasnya malu-malu.

    "Owh, gimana kalau nanti kita–"

    "Rezki!" potong anak laki-laki yang sepertinya sekelas dan akrab dengannya, "Kau ndak lupa tentang kerja kelompok kita pulang sekolah, 'kan?!"

    "Iya, aku ingat kok," sahut Rezki sambil menggaruk tengkuknya.

    "Yaudah, sini, kan kita mau bahas rencananya! Yang lain udah nunggu tuh."

    Rezki menatap kearahku. Aku membalasnya dengan senyum yang kupaksakan. Dia membalas senyum dan beranjak, "Kapan-kapan, ya. Aku janji."

    Setelah dia pergi, aku kembali memasukan pulpen ke mulutku dan merenung sekejap. Untuk mengatasi kegalauan berlipat itu, kuputuskan berjalan menuju kantin. Sesampainya di tempat ramai itu, aku memesan segelas kopi hangat untuk membantuku tetap berjaga sampai pulang sekolah.

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang