14 | Pendengar yang Baik

8 4 4
                                    

Tubuhku sedikit kejang dan terkejut tanpa alasan. Kubuka mataku perlahan.

'Mimpi apa aku barusan?' batinku.

Kuambil air putih di meja samping kasurku lalu meminumnya. Kulirik juga jam dinding yang menunjukkan jam setengah satu.

'Ternyata aku baru tidur satu jam lebih.'

Aku kembali ke posisi tidur. Kupeluk erat gulingku dan kembali membaca doa tidur.

Kegelapan saat aku menutup mata lama kelamaan mulai memudar. Warna dan bangun perlahan terlukis di depan mataku. Aku tidak bisa mengingat lebih jauh saat itu, namun tiba-tiba kudapati diriku yang sedang berdiri di depan sebuah bangunan besar dan mewah.

Di gerbangnya terdapat sebuah pos satpam, lalu pada gapura gerbang tertulis nama bangunan itu dengan huruf kapital yang berukuran besar : DROOM'S SCHOOL INDONESIA V . Tembok samping gerbang digambari logo dua siswa laki-laki dan perempuan dengan art style chibi yang sedang berdiri di depan sebuah lingkaran yang menyerupai bulan dengan tiga awan yang mengelilinginya. Empat awan itu berbeda ukuran dan juga warna. Awan paling kecil berwarna merah, awan sedang berwarna biru tua, dan awan yang paling besar berwarna abu-abu.

"Sekolah elite," aku berdecak kagum.

Langkahku terasa ringan. Tanpa sadar, aku melangkah dan mendekati bangunan indah itu. Sungguh, daya tariknya luar biasa bagi orang udik sepertiku. Mungkin keseluruhan lebar sekolah hanya selebar satu lantai di sekolah ini. Sedangkan sekolah ini tumbuh ke atas. Aku sempat menghitungnya, ada tiga gedung dan masing-masing ada dua belas lantai.

Aku mengintip dari sela-sela pagar. Sebuah lapangan bola yang sangat luas membentang di sana. Semen yang di cat cokelat dan diberi garis putih yang tidak putus mengelilingi lapangan. Aku tau, itu di gunakan untuk maraton. Walau sedikit buram, aku masih melihat beberapa lapangan lagi di sampingnya yang pastinya digunakan untuk olahraga lainnya.

"Hei, ada perlu apa kau?!" gertak seorang laki-laki dewasa bersuara seram. Aku terkejut, leherku dengan cepat berputar ke arah sumber suara.

Lelaki berbadan kekar dengan seragam biru muda dan celana biru tua itu mendekat ke arahku. Pin bertuliskan "satpam" mengkilap ditabrak oleh cahaya. Aku mendadak linglung sekaligus tegang. Aku kembali berpikir, bagaimana aku bisa sampai ke sini?

"Kau tidak memakai seragam, itu berarti kau bukan murid sekolah ini!" simpul satpam bermuka tegang itu dengan nada suaranya yang naik. "Mau apa kamu ke sini?!"

Aku diam saja. Ingatanku masih kacau balau. Aku bahkan tidak berani untuk melihat ke arahnya. Aku hanya melirik ke arah jalan dan berencana ingin kabur ke sana. Namun ada sesuatu di sekolah ini yang menahanku untuk pergi. Kualihkan pandanganku ke dalam sekolah itu. Mataku kembali berbinar-binar.

"Sepertinya kamu ingin masuk ke dalam sekolah. Apa kau sudah membuat janji?"

Aku ingin sekali berbohong, tapi aku sama sekali tidak mengenal siswa di sekolah ini. Satpam tersebut pasti akan menannyai nama orang tersebut lalu menyuruh orang yang kusebutkan itu untuk datang ke mari. Kebohongan harus direncanakan dengan sungguh-sungguh, Kawan.

Aku menggeleng. Orang dewasa itu melotot ke arahku. "Siapa kamu ini?"

"Azriel!" jawabku spontan sambil memejamkan mata.

Satpam itu juga bertanya dengan nada yang cepat, "Anak siapa!?"

"Ibu sama ayah, Pak!"

Pria itu semakin serius, "Bagaimana kamu bisa sampai sini!?"

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang