21 | Prioritas

10 4 6
                                    

      Setelah menunggu agak lama, laki-laki dengan jas itu terkekeh. Tawa itu telah menipiskan kesabarannya yang sudah sangat tipis. Pedangnya semakin mundur dan dekat dengan lehernya. Aku menutup mataku dengan tangan dan mengintip di antara sela-sela jari.

     "Kenapa kau semarah ini, Rezki? Kau tidak menikmati reuni ini?"

     Tepat dugaanku, laki-laki dengan pedang itu adalah Rezki! Semenjak hari itu, aku hafal betul dengan perawakannya.

     "Bedebah!" Hanya kata itu yang keluar dari mulut Rezki.

     "Jadi kau akan membunuhku?" kompesnya.

     Pedang itu semakin dekat dengan lehernya. "Masih perlu bertanya? Aku hanya dapat membunuhmu kalau aku bertemu denganmu di dunia nyata!"

      Kupeluk tubuhku sendiri yang merinding hebat. Rezki mendekat pada telinganya. "Kapan hal itu terjadi? Aku tak sabar membunuhmu dengan peralatan seadanya di sana!"

     Kata-katanya ... apa itu serius?

     "Dan kau hanya bisa melakukannya ketika tahu siapa itu Albra." Ia menarik lengan Rezki ke kiri dan membuat lehernya menempel pada lengan atas Rezki. Klekk! Albra membalikkan tangan lawannya ke kanah dan memukul keras lengkukan dibalik sikunya dengan samping tangannya—bagian jari kelingking ke bawah. Rezki melepaskan pedangnya, ia merintih dan memegangi sendi engselnya.

     Topeng buram itu Albra tarik secara paksa. Sebuah tendangan keras Albra luncurkan pada hidung Rezki. Sepatunya yang keras membuat darah segar mengalir dari kedua lubang hidung Rezki. Ditutupnya sumber darah itu dengan telapak tangannya. Aku kehilangan kesabaranku dan berteriak, "Rezki!"

    Albra menoleh ke arahku. Ujung bibirnya naik. Ia menendang tubuh Rezki dan berdiam diri melihatku mengejarnya. Albra tampak puas saat melihatku berlari melewatinya dan melompat tinggi. Kuukurkan lenganku, Rezki yang terkejut malah tidak merespon uluran tanganku. Ia tetap menutupi hidungnya. Kutarik bajunya di bagian baju. Baju itu sempat mulur karena tarik-menarik antara aku dan gravitasi. Meski aku tak dapat menahannya jatuh, minimal kami sudah turun dengan pelan-pelan.

     "Azriel!?" Dia menatapku dari ujung rambut sampai kaki. "Apa kau .... "

     "Ya, aku Azriel yang asli. Aku bukan orang yang menyerupai Azriel."

     Rezki perlahan melepaskan tangan dari hidungnya. Ia menyusapkan darah mimisan itu ke bajunya yang berwarna hitam. "Itu berarti ... kau bersama Ashlyn?"

     "Ya, aku bersamanya!"

     Ashlyn berlari masuk dan menghampiri kami. Ia meneriakkan namaku. Aku memutar bola mataku sambil tersenyum. "Itu dia." Rezki bangkit dari duduknya. Raut wajahnya terlihat tegang saat Ashlyn datang.

     "Dan aku juga!"

      Kami menoleh bersamaan pada suara nyaring itu. Liam berdiri dengan penuh percaya diri sambil menenteng tangannya. Kami saling berpandangan. "Kenapa kau malah ke mari?!" tanya Ashlyn.

    "Karena aku lihat dia mirip Rezki, jadi aku samperin. Bagaimana bisa kamu datang ke mimpiku?" Liam malah terlihat bersemangat seperti ia terlibat dalam sebuah film.

    "Zriel, katakan kalau dia bukan Liam yang asli!" Rezki terlihat syok.

    "Sayang sekali, dia Liam yang asli." Aku tertawa terpaksa.

     "Kamu jadi pahlawan, Rez? Sarung pedangmu aja udah keren, tapi mana pedangnya?"

     Rezki yang tersadar bahwa pedangnya ada di atas langsung pucat. Aku juga panik karena sempat melihat benda itu jatuh di depan Albra. Jangan sampai Albra mencurinya seperti pena Ashlyn!

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang