20 | Sebuah Getaran

6 4 1
                                    

     "Gempa bumi!"

     Tanah kembali bergetar beberapa saat setelahnya. Jika sebelumnya hanya pusing yang kurasakan, sekarang tubuhku ikut terhuyung-huyung. Para penonton histeris. Dengan tubuh mereka yang tersendeng-sendeng, mereka nekat berlari untuk keluar dari bangunan ini. Mirisnya, banyak sekali dari mereka yang bertabrakan dan jatuh. Anak-anak futsal mulai panik. Kurasakan tangan Liam yang dingin meremas tanganku. Ia hanya menunduk, iris matanya mengecil dan bergetar.

     "Liam? Kau kenapa?!" tanyaku panik. Aku takut bahwa Liam memiliki trauma terhadap bencana alam.

     Teman-teman kami juga mulai dirasuki pikiran yang sama. Mereka mengikuti langkah orang-orang itu untuk berlari. Mereka berhimpitan layaknya orang di dalam bus saat arus mudik. Ashlyn memunculkan sebuah pengeras suara, dirinya berteriak dengan lantang untuk menenangkan mereka.

     "Semuanya harap tenang! Tolong jangan saling mendorong! Kita hanya perlu tertib untuk–"

     Kata-kata Ashlyn terhenti oleh jeritan mereka yang menyaksikan tembok-tembok Ztovia mulai retak. Seng dan pipa besi juga mulai mengeluarkan suara menyeramkan. Barrak yang sedari tadi mencoba untuk tenang sudah kehilangan akalnya. Dirinya berlari kencang mengikuti teman-temannya dan melepaskan siapa yang sedang dirangkulnya. Ricko tumbang, ia mengerang sejadi-jadinya. Kulepaskan tangan Liam dan berlari menghampiri Ricko.

     Ashlyn membanting spikernya. Meneriaki orang yang sedang panik bukanlah hal yang dapat dilakukan sekarang. Yang harus ia lakukan adalah melindungi orang-orang, terutama mereka yang masih kecil. Air mata Ricko tak dapat disembunyikan karena rasa sakit itu menjalar ke seluruh kakinya. Aku bingung, bagaimana aku bisa memapahnya jika kakinya tidak kuat untuk menapak lagi. Aku berniat memanggil Ashlyn, tapi yang ia terlalu sibuk menolong orang yang jatuh. Satu persatu orang memang keluar, tapi hal itu sangat lama. Mereka malah kesakitan terimpit di sana.

     Gempa itu berhenti seketika. Aku sempat sedikit lega. Namun tidak dengan mereka. Orang-orang itu masih parno jika gempa akan datang beberapa menit, atau bahkan beberapa detik lagi. Karena tidak tahan melihat orang-orang di pintu itu, entah apa yang kupikirkan saat itu, kuulurkan tanganku ke depan. Kubuka kepalan tanganku.

     Sebuah imajinasi absurd membuatku mengeluarkan sebuah bola-bola hitam seukuran kuku jari. Bola itu ternyata adalah biji pohon palem kol yang sering kumainkan di sekolah. Mereka meloncat ke arah tembok yang agak jauh dari pintu keluar.

     Bum bum bum! Biji palem kol itu meledak ketika mereka bersentuhan dengan dinding tersebut. Runtuhlah dinding itu dalam sekejap. Orang-orang yang awalnya panik langsung terdiam. Beberapa saat kemudian mereka kembali bergerak. Dinding remuk itu beralih fungsi menjadi jalan keluar bagi mereka. Ashlyn mengikuti mereka dan pastinya ia akan memberikan pertolongan pertama. Hanya tersisa tiga orang dalam ruangan yang sudah porak-poranda ini. Aku, Ricko yang sedang menangis, dan Liam yang ... aku bingung dengan apa yang dia lakukan saat itu. Dia jongkok, menutup kepalanya dengan tempurung tangan, dan mematung tanpa bersuara. Siapa yang akan kutolong terlebih dahulu?

    "Kau masih kuat jalan?" tanyaku pada Ricko.

     Ricko yang masih menangis sesenggukan tidak menjawab dan hanya menggeleng. Apa aku bisa mengangkatnya dengan kekuatanku? Tapi aku belum belajar hal semacam itu, jadi aku takut akan memakan waktu yang lama. Yang Ashlyn ajaran saat itu hanyalah ... memunculkan suatu objek. Benar, objek yang bisa membawa Ricko! Aku memejamkan mataku dan meletakkan dua jari kanan dan kiriku pada otakku.

     Kugambarkan sebuah visual kursi roda dalam otakku sedetail mungkin. Kubayangkan mulai dari roda, tempat duduk, gagang pendorong dan bagian-bagian kecil yang aku ingat. Sebuah suara gemerincing seperti sound efect sihir dalam film terdengar. Kubuka mataku tanpa memudarkan visual di pikiranku.

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang