"Sialan kau Zafir! Nantikan pembalasanku besok!" teriakku keras saat berjalan di pinggir jalanan yang ramai. Para pengendara menatapku heran. Tak kuindahkan mereka dan terus menerus mencercanya.
"Lu pikir lu ini siapa? Dasar, bocah kemarin sore! Baru lahir udah nebar fitnah aja!" Kutinju-tinju udara di depanku. Aku tidak peduli jika mereka berpikir ada salah satu siswa SMP Muhammadiyah yang menderita penyakit kejiwaan.
Hatiku dongkol. Aku tidak betah lagi berada di lingkungan sekolah. Bahkan, sebelum di jemput oleh ibu, aku sudah berjalan kaki sampai ke tanjakan. Toh, nanti aku bakal bertemu ibu di jalan.
Aku berhenti ketika melewati jembatan. Kepalaku menengok melihat ke dalam permukaan sungai itu. Air yang jernih, namun surut dan penuh dengan bebatuan. Persis seperti persahabatan kami yang sebenarnya masih baik-baik saja, namun surut dan banyak sekali rintangan di dalamnya.
Tanganku mendarat pada pembatas jalan ke sungai yang terbuat dari besi. Besi tersebut masih tetap dingin meski cuacanya sedikit panas. Aku menarik napas dan membuangnya tengan berat. Kutempelkan pipiku ke permukaan besi itu. Sensasi dinginnya terasa. Kupejamkan mataku. Tampaknya kepalaku juga mulai dingin, meski hatiku masih tetap panas. Dinginnya besi ini telah membuatku merasa lebih baik.
Suara dari arus air itu seakan memanggilku. Aku menengok ke arah kanan, arah ibuku biasa datang menjemputku. Aku tersenyum kecil. "Sepertinya tidak apa-apa, kalau aku turun sebentar ke sana," gumamku.
Aku berlari menuruni tangga menuju pinggir sungai. Kucari tempat yang nyaman dan aman untuk duduk. Aku berjalan ke arah pohon kakao yang ada tepat di pinggir sungai. Tempat yang nyaman, namun tidak ada alas untukku duduk di sana.
"Nggak apa-apa, deh. Besok juga udah nggak dipakai. "Aku duduk di bawahnya dan melepas sepatuku.
Kumasukkan sepasang sepatuku yang keren tapi palsu itu ke dalam tas. Kucelupkan kakiku dalam sungai yang tenang itu. Aku tersenyum lega. Kupejamkan mataku dan menyandar pada batang pohon kakao. Kakiku dimanjakan oleh segarnya air sungai, telingaku dimanjakan oleh suara desiran-desiran angin, dan seluruh tubuhku dipersilakan untuk bersandar pada makhluk hidup yang tak pernah bicara ini.
Aku tersenyum. Aku mulai menguap dan kututup mataku dengan pasrah. Kutidak peduli lagi! Aku lelah ... aku ingin beristirahat sejenak!
✰✰✰
"Lu yakin, kita bisa menang?" tantang Careez.
"Pasti! Kita juga harus berusaha bersama. Percuma aku serius, kalau kalian enggak!" gerundelku. "Kalau kalian nggak serius, berarti kalian cuma pengen tandai aku sebagai penghianat!"
Wajah mereka tegang. Aku bangkit setelah selesai mengikat tali sepatuku. Dersik angin yang muncul entah dari mana mengibarkan rambutku. Kurenggangkan otot bahuku dan berjalan melewati mereka. Aku pun berpapasan dengan Zafir yang sedang memasang wajah dengki.
"Fitnahmu nggak akan tahan lama, Fir!"
Shesh!
Aku merasakan dingin yang aneh sekaligus mengejutkan dari tanganku. Aku terbelalak kaget dan melompat dari posisiku. Aku terengah-engah kaget. Mataku yang awalnya tertutup langsung terbuka lebar hinga mau meloncat.
Kuangkat lenganku. Bukan seragam futsal, melainkan seragam hizbul wathan yang basah karena tercelup ke dalam sungai. Aku duduk dan mengusap wajahku dengan telapak tangan yang masih basah. Aku menengok ke kanan kiri seperti orang linglung.
Kuambil lagi air sungai itu dan membasuhnya ke wajah hingga kepalaku. Aku berlari ke arah tasku yang masih bersandar pada pohon kakao. Aku benar-benar tidak sengaja tidur di tempat sepi ini! Parahnya posisiku berubah total. Aku menggelinding hingga tepat di samping sungai. Untung saja aku sempat bangun karena terkejut dengan sapuan air dingin, atau seluruh tubuhku yang akan basah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nocturno Just For Dream
Fantasy"Akan kuserahkan seluruh malamku hanya untuk bermimpi!" ujarku dengan mantap. *** Azriel adalah seorang anak SMP yang menderita insomnia. Begadang dan tidur di kelas sudah menjadi makanan sehari-hari untuknya. Pada suatu malam, mimpi yang aneh meray...