17 | Abu-abu Vs Hijau

7 3 2
                                    

Laki-laki ceria itu terus berjalan dengan santai sambil mengayunkan lengannya. Aku sibuk menutupi mataku agar tidak bertatapan langsung dengan matahari. Cuaca disana sangat terik, apa lagi saat kami berjalan di jalan setapak antara dua sawah. Liam berlari menghampiri aspal yang ditutupi bayang-bayang pohon rimbun. Karena jalannya sangat sepi, ia berani duduk di tengah jalan. Aku juga ikut duduk pada tengah jalanan itu.

"Eh, Liam, bagaimana kabar Rezki?" tanyaku berusaha mencari topik sambil menunggu kabar dari Ashlyn.

"Baik, kok. Kami sering main bareng, tiap hari malah. Kalau Dio sama Careez gimana?" Liam bertanya balik.

"Ya ..., mereka baik-baik aja, kok." Aku memutar bola mataku, tapi aku mencoba untuk tetap tersenyum.

"Alhamdulillah. Sebenarnya, aku agak kangen main sama mereka, apalagi sama Dio. Dio tuh anaknya asik banget, dia baik pula, sering dukung dan ingetin aku walau beda tim," puji Liam sambil terkekeh. Andai saja dia tahu kalau Dio itu munafik! Dio benar-benar ingin menyingkirkan tim futsal kelas 7C—termasuk Liam yang sering membuatnya iri hati.

"Eh, Liam, " panggilku, "kenapa sih cewek-cewek pada suka sama kamu? Rahasianya apa? Aku jadi penasaran."

Liam menaikkan satu alisnya, "Jadi menurutmu, aku nggak pantas disukai dan nggak ada menarik-menariknya gitu?"

"Hush, udu ngono! Iya, kamu ganteng, Li, tapi aku 'kan juga ganteng!" Liam langsung terbahak-bahak. Aku mengambil ranting kayu di sampingku dan mengangkatnya di depan muka Liam. "Aku ganteng 'kan?" ancamku sambil tersenyum jahat.

"Iya-iya, si paling ganteng," jawab Liam dengan menahan ujung bibirnya tersenyum. "Tapi ganteng doang kayaknya nggak cukup sih, Zriel."

Aku langsung paham bahwa yang membuat mereka tertarik dengan Liam bukan hanya karena dia manis, tetapi karena keramahannya. Liam selalu ramah kepada laki-laki, perempuan, kakak kelas, guru, bahkan tukang kebun. Dia selalu berani untuk menyapa orang lain. Terkadang dia juga sering menjahili dan mengejek orang lain, tapi siapa sangka kalau hal itu akan membuat mereka baper.

"Kamu pengen disukai banyak cewek, Zriel?" tanya Liam sambil tersenyum curiga.

Aku menggeleng.

"Yah, sejujurnya aku nggak masalah kalau ada yang suka sama aku. Tapi kadang aku risih sama mereka yang terang-terangan ngejar-ngejar aku, Selya contohnya. Kesel aku dijodoh-jodohin mulu sama dia!" Liam berterus terang.

Aku tergemap. Aku terlalu bersemangat mendengar Zafir menyukai Selya dan lupa kalau Selya menyukai Liam. Padahal, semua murid tahu akan hal itu. Aku menepuk kepala Liam, anak itu mengaduh. "Yah, yang sabar aja, Li, namanya juga cinta—monyet—sejati."

"Aku sebenarnya suka sama seseorang," bisiknya.

"Siapa, hayo?"

Liam menoleh, "Nggak deh, kamu cepu orangnya." Aku terus mendesaknya untuk memberi tahuku, tapi Liam benar-benar malu untuk memberitahuku.

"Azriel!" Earphone itu mengeluarkan suara. Aku langsung terdiam dan mendengarkannya. "Yeay, akhirnya request kita terpenuhi!

Aku melotot. "Hah, benarkah?!" seruku sambil tersenyum lebar.

"Azriel, aku belum ngasih tau kamu lho," timpal Liam terheran-heran.

"A-ah, cukup tau," cetusku berusaha menutupi keanehanku, "Velist 'kan?" ujarku asal-asalan

"Anjir, kok tau, sih?" Liam salah tingkah.

"Hah, beneran Velist nih?" aku lebih kaget lagi. Liam hanya mengangguk sambil tersenyum malu. "Idih, cewek sasimo (sana sini mao) gitu! Bisa-bisanya kamu baper sama dia. Bagusnya dia tuh apa?"

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang