23 | Menulis dan Mengeja

2 1 0
                                    

Empat hari berlalu sejak tragedi paku itu. Kini, tinggal dua hari waktuku untuk berlatih. Untungnya, trombosit di telapak kakiku bekerja keras untuk itu. Memang belum sepenuhnya tertutup. Namun setidaknya sudah kering, jadi tak terlalu nyeri saat menyenggol sesuatu. Aku juga bersyukur tidak ada tanda-tanda infeksi tetanus. Mungkin karena paku itu memang tidak ada karat.

Sejujurnya, aku sama sekali tidak dapat titik terang untuk berlatih. Anak-anak satu kelasku masih tak percaya kepadaku. Jangankan mengajak bermain, mereka bahkan menganggapku tidak ada. Mau lewat, tinggal lewat saja. Aku tak dipandang, seakan aku memang tak terlihat.

Hanya perasaanku saja, atau guru juga ikut dalam permainan mereka, ya? Jarang juga aku dipanggil oleh guru akhir-akhir ini. Padahal, aku sudah melakukan hal-hal seenaknya. Aku bahkan sering tidur sepanjang jam terakhir. Namun tak ada satu pun yang membangunkanku. Aku terbangun sendiri karena adzan ashar. Dan di saat itu juga, seisi kelas sudah kosong.

Kalau iya ..., cih, kejam sekali! Tapi tak mungkin, lah. Guru 'kan harus selalu netral dan tidak ikut campur. Kalau "kebelet" ingin ikut campur, mending kalian damaikan saja kami, Pak, Bu! Kita berpikir positif saja, ya? Mungkin guru juga sudah malas menegurku. Toh, sudah hampir satu semester aku sekolah di sini. Orang tua keduaku, lambat laun juga akan maklum seperti orang tua kandungku.

Anak-anak kelas sebelah, juga sama saja. Mungkin alasanku dimusuhi sudah tersebar. Maka dari itu, mereka memilih menghindariku agar tak menimbulkan masalah lain. Mungkin, mungkin, mungkin! Huuh, terlalu banyak kemungkinan, dan hanya satu yang jelas! Aku kesepian!

Ya, aku Azriel si "biang kerok" merasa kesepian! Padahal aku biasanya juga melakukan hal yang aneh, menyebalkan, dan juga sering membuat perempuan menangis. Saat itu, tak pernah sekali pun aku dimusuhi satu sekolah. Namun sekarang, apa-apaan!? Hanya karena fitnah dari anak kecil itu, aku benar-benar dikucilkan! Kenapa harus kali ini!?

"Aku juga butuh teman, woy!" teriakku tanpa memikirkan apa pun. "Satu aja, nggak pa-pa!"

Kau tau di mana posisiku, Bro? Di balkon belakang. Perlu kujelaskan di mana balkon belakang? Singkatnya, setelah jendela kelasku yang menghadap ke luar sekolah, ada balkon kecil. Aku menyebutnya "balkon belakang".

Jalan ke balkon belakang dikunci. Namun siapa pun bisa ke tempat itu jika menerobos jendela. Dan balkon belakang, hanyalah tempat untuk orang-orang sinting—sepertiku. Aku bisa duduk manis di sini. Tidak perlu takut jatuh, pembatas balkonnya pas untuk kududuki. Walau kadang malu juga dilihat orang lewat. Masa bodoh, yang penting sekarang sepi.

"Mau aku ngomong sendiri keras-keras, mau aku pargoy di sini, teriak-teriak kayak orang gila. Mau lompat pun juga nggak ada yang tau!" Aku sengaja mengeraskan suaraku karena terlalu PD.

"Oh, mau cari mati di sini? Bagus sekali!"

Suara itu mengagetkanku seperti halilintar. Karena terperanjat, keseimbanganku hilang.

Aku reflek meneriakkan kata kotor. Jantungku bergetar seperti digoyangkan. Bajuku di bagian belakang ditarik keras. Seketika gravitasi sudah tak mempan lagi. Aku dilepaskan saat sudah dalam posisi kembali duduk.

Kuputar kepalaku ke belakang. "Sialan kau, ya!"

"Hey, aku baru datang! Salahmu sendiri duduk di tempat seperti ini!" sangkalnya tak mau disalahkan.

Aku menatapnya sinis. Tau apa dia tentang basecamp orang sinting ... sepertiku? Kalau dia di sini, apa berarti dia sinting juga?

"Kau mengataiku dalam hati, ya!?"

"Apa, sih? Kepedean banget!"

Aku berputar, lalu berpindah duduk di lantai agar tidak was-was lagi. Kupeluk lututku dan mendengus kesal. "Sampai mimpi pun aku masih stress gara-gara itu!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Nocturno Just For DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang