1

431 67 5
                                    


Menikahlah denganku, sebagai gantinya aku akan memberikan semua yang kamu mau.”


Bak air dalam kolam, ia mengucapkannya dengan amat sangat tenang. Ekspresinya tak beriak. Seolah-olah ia tengah meminta Fatiha untuk memberikan laporan keuangan Vila Bunga yang dikelolanya, alih-alih meminta salah satu karyawannya untuk menikah dengannya.

“Saya tidak mengerti maksud Bapak.”

“Fatiha Arshavina Prameswari, Sarjana Ekonomi dengan IPK tinggi dan lulus dengan predikat Cum Laude, benar?” tanyanya sembari membolak-balikkan sebuah berkas.

Fatiha hanya mengangguk, ia tak mengeluarkan suara sepatah kata pun. Mendekap erat map hijau berisi laporan keungan yang ia print buru-buru sesuai perintah pria itu, ke dadanya, ia hanya mengamati tingkah tak sopan bos—ralat, anak bosnya yang minim sopan-santun. 

Airlangga Kusumawardana, sungguh pria yang kurang ajar. Mungkin tersebab merasa sebagai anak dari pemilik tempat ini, makanya ia bersikap sesuka hatinya. Kedua tungkainya yang panjang berbalut celana training olah raga, diangkatnya ke atas meja, memperlihatkan sol sepatunya yang penuh tanah kotor. Santai, tapi tak beradab.

Sudah sebulan lebih ia berada di Vila Bunga, merecoki pekerjaan seluruh karyawannya, mengkritik, bahkan tak jarang memarahi kesalahan-kesalahan yang sebenarnya sangat sepele.

Entah apa yang dilakukannya, datang-datang langsung memperkenalkan diri sebagai bos baru. Padahal, tak ada perintah apa pun dari Pak Kusumawardana, bos yang dikenalnya sebagai pemilik tempat ini.

Pak Kusuma, demikian Fatiha memanggilnya, nyaris tidak pernah merecoki pekerjaannya. Ia memasrahkan usaha agrowisata dan resort miliknya, kepada Fatiha. Kenalan Ulil—kakak ipar Fatiha—itu sepenuhnya memercayainya. Melihat latar belakang dan pendidikan Fatiha, Pak Kusuma langsung setuju begitu Ulil merekomendasikan adik iparnya untuk mengelola usaha miliknya, sebuah usaha ‘kecil’ yang tidak begitu dianggapnya penting.

“Sepertinya nilai akademik sama sekali tidak menjadi patokan kecerdasan seseorang,” komentarnya pedas. Fatiha melongo. “Dengan IPK sempurna pun, otakmu tidak mampu mencerna kalimat sederhana yang kuucapkan.”

Sialan! Jadi, ia tengah menyidirnya? Diam-diam Fatiha mendengus.

“Apakah Pak Elang sehat?”

“Aku tidak sedang membicarakan kesehatanku!” 

“Benar, tetapi ucapan Bapak membuat saya berpikir, mungkin Pak Elang baru saja mengalami kecelakaan ringan, terbentur pinggiran ranjang barangkali. Saya akan panggilkan dokter untuk memeriksanya.”

“Aku baik-baik saja, kalau kamu pikir aku amnesia!”

“Itulah yang ingin saya maksud, Pak. Bapak baru saja meminta saya menikah dengan Bapak.” 

“Benar. Lalu?”

“Saya adalah karyawan Bapak.”

“Ada yang salah dengan itu?” balasnya tajam. Kali ini kedua tungkainya diangkat, lantas kakinya turun mendarat di atas lantai. Cara duduk sewajarnya yang jauh lebih sopan.

“Saya tidak bersedia,” jawab Fatiha tegas. Tak sedikit pun ia merasa gentar membalas tatapan anak bosnya.

“Aku akan memenuhi semua yang kamu butuhkan.”

“Saya tidak bisa. Maaf,” putus Fatiha kukuh.

Sejak meninggalkan desanya untuk menerima pekerjaan di tempat pelosok seperti ini, tekad Fatiha sudah bulat. Ia tidak akan menjalin hubungan dengan pria mana pun. Baginya, Arman menjadi yang terakhir kalinya.

Tidak mudah menyadang status janda di usianya yang masih muda. Berat ujian yang dilalui Fatiha. Ia adalah kembang desa, perempuan yang banyak dikagumi oleh para pemuda. Keberadaannya di desa seringkali memacing fitnah yang berujung keributan. Entah sudah berapa kali ia dilabrak para istri yang merasa terancam lantaran suami-suami mereka terpikat pada pesonanya. Belum lagi gangguan dari mantan suaminya.

Berkali-kali Arman mengajaknya untuk rujuk. Pria tidak tahu malu itu bahkan sampai berani mengancam. Selain letih, Fatiha juga tidak tega melihat kesedihan membayang di wajah Ibu. Oleh karena itu, ia sama sekali tidak menyia-nyiakan kesempatan ketika suami kakaknya menawarinya sebuah pekerjaan sekaligus tempat persembunyian yang aman dari kejaran Arman.

Betah yang dirasakan Fatiha pada bulan-bulan pertama, meski awalnya berat meninggalkan Ibu dan Amira—adik bungsunya. Namun, perlahan Fatiha dapat menikmati pekerjaannya. Mengelola banyak sarana liburan yang disediakan oleh Vila Bunga. Mulai perkebunan teh, bunga, buah, hingga sayuran. Area taman bermain, lapangan olah raga, peternakan kuda, hingga waterpark. Disediakan juga puluhan unit vila bagi keluarga yang ingin menginap dan menghabiskan waktu liburan.

Namun, sejak kedatangan makhluk berkumis tipis itu, Fatiha mulai merasa tak Nyaman. Elang tidak hanya mengerecoki, tetapi kini juga mengganggunya dengan meminta Fatiha menikah dengannya. Konyol!

Keberadaannya di sini untuk menyembunyikan diri dan mencari ketenangan, benar-benar terganggu.

“Pikirkan lagi, Ti. Itung-itung menolongku.” Elang menghela napas. Tajam tatapannya perlahan melunak.

“Pak Elang sama sekali tidak tampak seperti seorang pria yang butuh pertolongan,” balasnya datar.

“Bulan depan Ibu akan berkunjung kemari. Dia akan memaksaku menerima perempuan pilihannya, jika aku belum juga menemukan perempuan untuk dijadikan istri.”

“Dan Bapak berpikir saya bersedia pura-pura menjadi calon istri Bapak?”

“Tidak, bukan pura-pura! Kamu beneran menjadi istriku. Kita nikah secara agama maupun negara. Kita akan bercerai dalam waktu yang bisa kamu tentukan. Aku sudah lelah dikejar-kejar terus oleh Ibu. ”

Masa bodoh, bukan urusanku! batin Fatiha mendengus sinis. Apakah dikiranya ia akan mengorbankan dirinya untuk hal konyol seperti itu? Menyandang status janda sekali saja rasanya begitu menyakitkan, sekarang Elang justru menawarkan pernikahan sekaligus perceraian. Pria itu akan membuatnya menjanda untuk yang ke dua kali. Yang benar saja! Tentu saja Fatiha tidak sudi.

“Kalau tidak ada yang ingin Bapak bicarakan lagi, saya pamit kembali ke ruangan saya. Masih banyak yang harus saya kerjakan.”

“Ti—”

Fatiha berbalik dan melangkah meninggalkannya.

“Kita bisa bikin perjanjian pra nikah. Aku akan memberikan separuh kekayaanku kepadamu, jika kamu bersedia!” serunya masih berusaha membujuk

Tak menggubris, langkah Fatiha kian lebar. Ingin segera enyah. Dikiranya ia adalah perempuan matre yang menganggap materi adalah segalanya?

Bersambung ….

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang