9

157 31 16
                                    

Dua pria sama-sama mengangkat kepala dan menatap kedatangannya, tetapi dengan cara yang berbeda. Fatiha menghela napas, tidak ada Bu Fatma di sana. Binar takjub dalam netra hitam Rendy sama sekali tidak coba disembunyikannya. Pria itu gembira mendapati Fatiha muncul di meja makan khusus keluarga mereka. Sementara Elang, ia hanya menoleh sekilas, mengangkat sebelah alis, lantas kembali menekuri makanan. Hanya ia yang sudah mulai makan.

“Di mana Bu Fatma?” tanyanya datar.

“Ibu belum datang.” Rendy yang menjawab sembari bangkit dari kursinya. Bak seorang gentleman sejati, ia menarik sebuah kursi untuk Fatiha dan mempersilakannya duduk. “Duduklah dulu, sebentar lagi Ibu akan datang.”

Fatiha menurut walau merasa janggal. Elang sedang tidak berusaha menjebaknya bukan?

Pertanyaan itu masih mengambang dalam benaknya kala sosok wanita anggun datang. Kerutan di keningnya kala melihat Fatiha sudak cukup menjawab pertanyaan dalam kepalanya. Elang sepertinya memang menjebaknya.

“Fatiha?” Suaranya mengandung tanya. Memerah wajah Fatiha oleh perasaan kesal. 

“Pak Elang bilang—”

“Sepagi ini?” potongnya. Bergantian, Fatiha menatap Elang dan Bu Fatma penuh tanya. Apa maksud kalimatnya sepagi ini?

“Aku senang, akhirnya Fatiha bisa duduk bersama kita,” celetuk Rendy. Andai saja Fatiha tidak selalu berburuk sangka terhadap para pria, mungkin ia dapat menangkap nada tulus dalam suaranya. Sayangnya, baginya tidak ada pria baik. Semuanya penipu. Dua kali berurusan dengan pria, semua menipunya. Fatiha kapok, tidak lagi-lagi mempercayai kaum berjakun.

“Apakah kalian yang bermanuver membuat Fatiha ada di sini?” tanya Bu Fatma. Kernyit keningnya menunjukkan ekspresi tidak suka. Fatiha menelan ludah, tidak nyaman.

“Bukan aku, Bu. Elang yang melakukannya.”

“Aku hanya menyampaikan pesan Ibu kepadanya—”

“Bahwa Ibu memintanya untuk tukar kamar?” potong Bu Fatma tajam. Jadi, itu permintaan Bu Fatma, alih-alih mengundangnya ikut sarapan bersama?

Elang menyeringai, sementara Rendy meringis. Fatiha menyipitkan mata, wajahnya memerah. Ia merasa dipermainkan. Elang pasti sengaja mempermalukannya di depan Bu Fatma. Segera ia bangkit dari kursi, lantas berpamitan. Merasa tidak nyaman.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Saya akan datang kalau Ibu sudah selesai sarapan.”

“Tidak perlu, duduklah kembali dan ikut sarapan bersama kami. Kita bicara setelah sarapan.”

Menghela napas, tatapannya bertabrakan dengan netra kelam milik Elang. Samar, Fatiha melihat kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyum kemenangan. Sialan! Pria ini benar-benar menjebaknya. Bu Fatma ingin menukar kamarnya, tetapi Elang mengatakannya lain. Pria ini sungguh kekanakan!

Senyuma lebar Rendy pun tak mampu mengenyahkan kekesalanku. Kakak beradik itu sama saja. Rendy mendekatinya, mengatakan ingin menukar kamar, Fatiha rasa itu hanya akal-akalannya saja. Bukankah yang ingin ganti kamar adalah ibunya?

Di mana-mana pria memang sama saja! gerutunya dalam hati.

Terpaksa, Fatiha duduk semeja dengan mereka. Ia sungguh tidak nyaman, tetapi tidak punya pilihan lain. Sadar, kakak beradik yang duduk di seberangnya, tengah mengamatinya. Makanan yang seharusnya enak, terasa seperti duri yang melukai tenggorokan Fatiha.

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang