4

181 54 8
                                    

Tak hanya Melanie, ibunya pun sepertinya mulai menyadari kepergiannya yang secara diam-diam. Dalam waktu sebulan sejak kepergiannya, wanita paruh baya itu terus menghubunginya. Namun, Elang enggan. Ia sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun yang tiada henti menerornya untuk segera menikah.

Melanie, model yang telah dipacarinya selama dua bulan itu terus mendesak Elang agar membawa hubungan mereka ke jenjang serius. Tentu saja Elang tidak mau, ia tidak ingin menikah dan terikat dengan satu perempuan, setidaknya dalam waktu dekat ini. Namun, Melanie terus mendesak, membuat Elang jemu. Apa lagi perempuan itu tidak hanya mengganggunya, melainkan juga turut meneror Ibu. 

Tentu saja Ibu mendukungnya, perempuan itu justru paling getol ingin Elang segera menikah. Ibu tak menyia-nyiakan keinginan Melanie, kedatangan Melanie membuat kedua perempuan itu bermanuver untuk membuatnya mengakhiri masa lajang. 

“Tunggu apa lagi, Lang. Melanie ingin serius, jangan main-main terus. Ibu juga ingin segera menimang cucu,” tegur ibunya.

“Minta saja pada Rendy, Bu. Dia pasti sudah siap memberikn cucu untuk Ibu.”

“Di mana-mana kakaknya duluan, bukan adiknya! Lagi pula usiamu sudah lewat tiga lima, sudah kelewat matang untuk menikah.”

“Banyak temanku yang sudah kepala empat, belum juga menikah, Bu,” sanggahnya.

Ia benar, banyak rekannya sesama artis lebih memprioritaskan karir dibanding dengan komitmen. Menjalin hubungan dengan lawan jenis sekedar untuk bersenang-senang, sebagaimana yang dilakukannya. Elang tidak serius dengan Melanie, janda beranak satu itu hanya sekedar mainan Elang. Ia akan meninggalkannya setelah merasa bosan, sama seperti yang dilakukannya kepada perempuan-perempuan lain yang pernah dikencaninya.

Dan belakangan, Melanie mulai membosankan. Tidak hanya menuntut untuk dinikahi, perempan itu juga mulai menyebar gosip seolah-olah mereka akan segera menikah dalam waktu dekat. Tersebab itulah, Elang memilih untuk enyah, bersembunyi di tempat terpencil untuk mencari ketenangan. Bebas dari gangguan siapa pun.

Namun, ia tidak bisa mengabaikan ketika adiknya yang menelepon. Begitu nama Melanie berganti nama Rendy, tak menunggu lama Elang segera menjawab panggilan.

Adiknya yang malang. Pria yang seharusnya masih asyik menikmati masa mudanya, harus terjun ke dunia bisnis menggantikan kakaknya yang tidak bertanggung jawab.

Seharusnya Elang yang menjadi penerus pemimpin seluruh perusahaan Kusumawardana, menggantikan sang ayah. Namun, ia lebih suka berada di dunia hiburan. Menyerahkan sepenuhnya seluruh perusahaan kepada Rendy.

“Ya, Ren?”

“Di mana lo?” sembur Rendy tanpa basa-basi.

“Kabur dari Melanie,” jawabnya terus-terang.

“Lo emang bajingan!”

“Gue kakak lo, Ren, bukan bajingan. Ada perlu apa, tahu-tahu nyembur macam perempuan PMS saja?”

“Ibu Fatma nangis semalam, nyaris pingsan oleh kelakuan lo.”

“Ibu Fatmawati Kusumawardana, S.H., M.Hum menangis dan nyaris pingsan?” Elang berkata dramatis. Unik, dua bersaudara itu selalu menyertakan nama setiap menyebut kedua orang tua mereka ketika sedang mengobrol berdua. Tentu saja tidak berani di depan ibunya, bisa-bisa mereka dicoret dari daftar kartu keluarga.

Rendy mendengus di seberang sana. “Bagaimana tidak pingsan, anak kesayangannya pergi meninggalkan hari pernikahannya begitu saja!”

“Pernikahan siapa?” tanya Elang membeo. “Lo mau menikah? Kok, sama sekali tidak bilang sama gue? Tahu gitu, gue tunda kepergian.”

“Pernikahan Melanie sama elo, bego! Untung lo abang gue, durhaka kalau sampai gue sumpahin elo jadi bujang lapuk.”

Elang menggeser posisi duduknya seraya terkekeh santai, sama sekali tidak terpengaruh dengan kekesalan adiknya. “Sejak kapan gue bilang mau menikah dengan Melanie?”

“Lah, beritanya udah heboh. Setiap hari ada wartawan di depan gerbang nyariin elo!”

Sebulan ini, Elang sama sekali tidak menonton televisi. Ia tidak tertarik untuk mengikuti berita apa pun, lebih tertarik dengan pemandangan di kaki gunung sambil menikmati keindahan gadis penjaganya. Fatiha.

Mengingat gadis itu, diam-diam Elang mendengus. Terakhir kali bertemu dengannya, ia diusir secara halus dari ruangan gadis itu.

“Mana gue tahu, gue tidak pernah menjanjikan pernikahan kepadanya.”

“Serius, Lang? Lo lagi gak coba membela diri, kan?”

“Emangnya gue terdengar sedan guyon, gitu?”

“Lalu, bagaimana bisa Melanie mengatakan akan menikah denganmu minggu ini?”

“Paling-paling sengaja bikin gosip, biar makin rame job.”

“Tapi, dia sudah mempersiapkan segalanya, lho.”

Elang mendesah malas. “Kalo beneran gue mau menikah, tidak mungkin keluarga gue tidak gue kasih tahu.”

“Itulah sebabnya Ibu Fatma histeris. Masa putra kesayangannya tega nikah secara sembunyi-sembunyi.”

“Orangnya yang lagi sembunyi, kalo pernikahannya tidak sembunyi-sembunyi, melainkan hoax!” dengus Elang keras.

“Mending lo buruan pulang, Ibu Fatma minta lo kasih penjelasan, Lang.”

“Males. Gue udah telanjur betah di sini.”

“Memang lo di mana?”

“Di Batang. Vila Bunga milik bokap.”

Hening. Tidak ada lagi suara di seberang. Rendy terdiam cukup lama. Elang kira adiknya itu telah memutuskan sambungan telepon, tetapi teriakan histeris Ibu dari seberang menyadarkannya. Percakapan mereka di dengar oleh perempuan yang telah melahirkannya tersebut.

“Dasar anak baik! Ibu akan menyusulmu ke sana dan menyeretmu pulang. Berani-beraninya kamu mempermainkan Melanie! Ibu tidak mau tahu, pokoknya kamu harus segera menikah!”

Elang menghembuskan napas. Hari-hari tenangnya dalam sebulan akan segera berakhir.


Bersambung ...

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang