7 (B)

138 42 3
                                    

“Koper apa ini?” tanya Bu Fatma, begitu masuk ke dalam ruangan Fatiha. Melihat koper yang tergeletak di dekat sofa.

Wanita ini berbeda dengan putra sulungnya. Elang tidak pernah mengetuk pintu setiap kali masuk ke ruangan Fatiha, ia nyelonong begitu saja. Sikap Bu Fatma memang sangat prifesional, terlihat bossy, tetapi tetap menjaga etika dan sopan santun. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu, tidak nyelonong masuk sebelum Fatiha menjawab dari dalam, mempersilakannya masuk.

“Koper saya, Bu,” jawb Fatiha. Ia bangun dari kursi putarnya, menyambut kedatangan istri sang bos.

“Apakah kamu akan cuti ketika saya datang kemari?”

Menggeleng, Fatiha mempersilakan wanita itu duduk di sofa setelah terlebih dahulu menyingkirkan kopernya ke tepi. Ia tidak pernah mengambil cuti, mengemasi barang-barangnya sebagai bentuk sadar diri sebelum Elang meminta melakukannya. Setelah kalimat ketus yang dilayangkannya, Fatiha tidak yakin Elang akan membiarkannya tetap bekerja di sini. Jadi, ketika nanti Elang memintanya segera angkat kaki, Fatiha hanya tinggal menyeret kopernya yang sudah siap.

Sadar, sejujurnya Fatiha sedikit menyesal menyemburkan kalimat pedas kepada anak bosnya. Sekesal apa pun, tidak seharusnya ia melakukannya. Sejak remaja ia memang tidak pandai mengontrol emosi, ketus, dan gampang meledak-ledak. Pertengkarannya dengan saudara-saudaranya yang dulu kerap mewarnai rumah merek, pun tersebab sikap bawaannya tersebut.

Mungkin, sebentar lagi Elang akan datang untuk mengusirnya. Fatiha sudah mempersiapkan diri.

“Saya tidak pernah mengambil cuti, Bu.”

“Lalu?”

“Saya sedang bersiap kalau-kalau Pak Elang datang untuk meminta saya pergi.”

Bu Fatma mengernyitkan kening, ekspresinya sama seperti kala Elang memperkenalkannya sebagai calon tunangan. “Elang memintamu pergi?”

Fatiha mengangguk. Lebih baik berterus-terang sekaligus meluruskan ucapan pria itu. “Saya bersikap keterlaluan pada Pak Elang, mungkin dia akan segera memecat saya setelah saya menolak mentah-mentah tawarannya menjadi tunangan pura-puranya.”

“Tunangan pura-pura?”

“Pak Elang meminta saya berpura-pura menikah dengannya agar Ibu berhenti mendesaknya menikah.” Rasakan, Elang! Biar saja Fatiha buka semuanya, toh sebentar lagi ia akan segera meninggalkan tempat ini.

“Mengapa kamu menolak?”

“Karena saya tidak mau.”

“Kamu tidak tertarik dengan anak saya? Bukannya Elang tampan dan terkenal. Sebagai penerus bisnis keluarga, dia juga kaya-raya.”

Fatiha menggeleng tegas. Di dalam hati merasa kesal akan ucapan wanita itu. Dipikirnya Fatiha perempuan matre? gerutunya dalam hati.

“Saya tidak tertarik dengan pria mana pun.” Setegas suaranya, sorot matanya pun sama tegasnya kala membalas tatapan Bu Fatma.

Untuk sesaat mereka diam sambil bertatapan. Lekat, Bu Fatma menatapnya tajam penuh penilaian. Sejujurnya Fatiha tidak nyaman, tetapi tidak mau memutus kontak. Ia tidak sudi dipandang rendah oleh siapa pun. Fatiha bukan perempuan penggoda yang rela melakukan apa saja untuk menggaet pria kaya.

Namun, tak lama kemudian Fatiha melihat kedua sudut bibir wanita itu tertarik, membentuk sebuah senyuman. Ekspresinya pun melunak, tatapan matanya melembut.

“Bawa kembali kopermu ke kamar. Tidak ada yang boleh memecat seorang pekerja, selain saya.”

“Maksud Ibu?”

“Elang tidak akan memecatmu. Tunjukkan pada saya hasil pekerjaanmu, saya ingin melihatnya.”

Meski bingung, tetapi Fatiha tidak membantah. Ia mempersilakan Bu Fatma duduk di meja kerjanya dan membiarkan wanita itu mengakses komputer kerjanya.

“Pekerjaanmu sangat rapi, tidak heran Bapak begitu mempercayaimu,” komentarnya beberapa saat kemudian setelah mengecek komputer Fatiha.

“Terima kasih.” Singkat dan datar Fatiha menjawabnya, sama sekali tidak merasa tersanjung. Tampaknya Bu Fatma menyadari hal itu. Wanita itu tersenyum kecil.

“Apakah Elang sering mengganggumu?”

“Hanya setelah mendengar Ibu akan datang.”

“Dia memintamu menjadi tunangan pura-pura itu?” Fatiha mengangguk. Menghela napas, Bu Fatma bangkit dari tempat duduknya. “Saran saya, sampai kapan pun jangan pernah tertarik padanya, Fatiha. Saya tidak ingin kamu menyesal.”

Fatiha tersenyum kecut. Hidupnya sudah dipenuhi penyesalan, penyesalan akan kebodohan tertipu oleh pesona semu Arman, penyesalan akan sikap jahatnya pada Salma, penyesalan akan Bapak, dan masih banyak lagi penyesalan-penyesalan yang menderanya. Andai waktu dapat diputar kembali, banyak sekali yang ingi Fatiha perbaiki, terutama sikap buruknya terhadap orang tua dan saudara-saudaranya.

Terlalu banyak penyesalan, ia tidak akan menambahnya lagi dengan penyesalan baru. Menjauh dari semua pria adalah pilihan yang tepat. Tak terkecuali Elang. Namun, apakah Elang bersedia berkompromi untuk menjauhinya juga?

Fatiha langsung meragukan pertanyaan dalam benaknya itu, kala pintu terbuka. Kali ini bukan hanya Elang, tetapi juga Rendy, adiknya.

Bersambung …

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang