2

208 57 4
                                    

Lima panggilan tak terjawab. Salma masih terus meneleponnya. Sengaja, Fatiha mengabaikannya. Belakangan ia menghindar bicara dengannya.

Salma teramat menyayanginya, ia kakak yang sangat perhatian dan memedulikannya. Terkadang, perhatiannya justru membuat Fatiha kian merasa bersalah. Meski kakaknya telah sepenuhnya memaafkan segala sikap kurangajarnya di masa lalu, tetapi rasanya hal itu tidak cukup untuk Fatiha. Ia merasa berdosa telah melukai kakak sebaik Salma.

“Mbak,” sapa Fatiha. Telepon ke enam, akhirnya ia bersedia mengangkatnya meski enggan.

“Kamu sibuk banget, ya, Ti?” Lembut suaranya terdengar dari seberang.

“Begitulah. Bosku berulah, aku harus menyelesaikan banyak pekerjaan.”

“Setahuku, Pak Kusuma tidak pernah mau mengurusi usaha ‘kecilnya’ dan memasrahkan sepenuhnya padamu?”

“Itu, kan, Pak Kusuma, Mbak. Yang kumaksud ini anaknya. Menyebalkan dan banyak tingkah.” 

“Mas Ulil tidak pernah cerita. Siapa namanya, Ti?”

“Airlangga.”

“Laki-laki?”

“Tentu saja, Mbak. Memangnya ada perempuan bernama Airlangga?”

Di seberang, Fatiha mendengar kakaknya menghela napas panjang. “Dia tidak macam-macam padamu, kan?”

Dia menawarkan pernikahan sekaligus perceraian dalam satu waktu. Kalimat itu tentu saja hanya dibatinnya. “Tentu saja tidak. Mbak Salma tidak perlu khawatir.”

“Kalau dia berani kurangajar padamu, laporkan padaku, Ti. Biar kuadukan pada Mas Ulil.”

“Mbak Salma terlalu berlebihan! Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri sendiri. Jangan memperlakukanku seperti anak kecil, Mbak.”

“Kamu tahu jelas maksudku, Ti. Justru karena kamu adalah perempuan dewasa dan sangat cantik, makanya aku mencemaskanmu. Ditambah, ada seorang pria di sana.”

“Bukan seorang, Mbak,” sanggah Fatiha. Sejujurnya ia senang diperhatikan oleh kakaknya, tetapi perhatian Salma menurutnya terlalu berlebihan. Ia masih saja menganggap Fatiha tidak dapat menjaga diri. “Di sini ada puluhan karyawan laki-laki. Kecemasan Mbak Salma terlalu berlebihan.”

“Mereka bawahanmu, Ti, tidak akan berani macam-macam kalau masih sayang dengan pekerjaan. Tapi, Airlangga ini bosmu. Aku khawatir dia berani menggodamu.”

“Aku tidak akan tergoda. Jangan khawatir.”

“Apakah dia tampan?”

“Mbak, sudahlah! Mbak Salma meneleponku hanya untuk membicarakannya?”

“Tentu saja, tidak!”

“Syukurlah, kalau begitu tidak perlu membahasnya lagi.”

“Baiklah. Ada hal yang jauh lebih penting untuk dibicarakan.” Fatiha sudah langsung dapat menebak. “Mas Ulil ingin menjodohkanmu dengan Kang Rahmat, Ti.”

Menghela napas, Fatiha menahan diri untuk tidak segera memutus sambungan telepon. Inilah, penyebab belakangan ini ia enggan menerima telepon kakaknya. Salma ingin sekali adiknya kembali menikah, meski Fatiha telah berkali-kali menegaskan, ia tidak ingin menjalin hubungan dengan pria mana pun, terlebih menikah kembali.

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang