7 (A)

154 43 5
                                    

“Dia sangat cantik,” decak Rendy takjub. Enggan lepas matanya mengawasi Fatiha. “Dan lo ditolak olehnya.”

Elang mendengus sembari meraih cangkir teh, lantas menyesapnya pelan. Kerutan di keningnya menunjukkan raut kesal. “Hanya kalimat pertama yang menarik, kalimat ke dua sangat menyebalkan.”

“Perempuan cantik itu banyak, Lang,” kekeh Rendy. “Semua orang juga tahu, lo tidak kekurangan perempuan cantik. Hanya saja, yang menarik di sini justru kerena dia tidak tertarik sama elo.”

“Itu hanya soal waktu.” Elang membalas penuh kepercayaan diri.

“Jangan terlalu percaya diri, Bro! Tidak selamanya uang, ketampanan, dan ketenaran berguna untuk mendapatkan semua yang lo inginkan.”

“Nyatanya selama ini gue selalu mendapatkan segalanya.”

Rendy mengedikkan bahu. Hanya sebentar ia berpaling dari Fatiha, lantas kembali menatapnya. Sayang, pemandangan indah tidak boleh dilewatkan. “Mungkin itu hanya soal waktu.”

“Mau taruhan kalau gue bisa dapetin Fatiha?”

“Apa yang mau lo pertaruhkan?” Rendy menatap sang kakak penuh minat.

“Apa pun yang lo inginkan, akan gue penuhi.”

Rendy tersenyum iblis. Elang tahu, adiknya sedang berusaha mengambil kesempatan langka. Namun, Elang sama sekli tidak khawatir. Ia sangat percaya diri akan kemampuannya dalam memikat lawan jenis. Jangankan Fatiha, hanya gadis desa yang polos, berbagai jenis artis dan model papan atas pun selalu berhasil ditaklukkannya dengan mudah.

“Baiklah, gue pegang kata-kata elo.” Elang mengangkat sebelah alis menanti kalimat lanjutannya. “Kalo elo berhasil dapetin perempuan itu, mobil baru gue buat elo. Ikhlas.”

Elang menjentilkan kelingking sembali tersenyum meremehkan. “Diterima.”


“Tapi, kalo gue yang berhasil dapetin—”

“Kok, lo?” potong Elang. “Lo mau ikut-ikutan ngejar dia?”

Rendy menyeringai. “Sayang, ada perempuan cantik gitu kalau dilewatin.”

“Tidak bisa gitu, dong. Dia bagian gue!”

“Kita bertaruh secara sehat, Bro, atau lo takut saingan sama gue?” ejek Rendy.

Elang mendengus keras, lantas menepuk-nepuk keras bahu adiknya. “Jangan terlalu menganggap tinggi diri sendiri, Adik kecil. Biar bagaimana pun gue abang lo, jauh berpengalaman.”

“Sialan!” Rendy mengumpat jengkel.

“Baiklah, mari kita bersaing, Adik kecil.”

“Jangan sebut gue seperti itu, Berengsek!”

Elang terkekeh puas. Usia mereka terpaut lima tahun,  tidak begitu jauh, tetapi Elang selalu menyebutnya adik kecil untuk mengoloknya. “Jadi, apa yang lo inginkan dari gue kalo elomenang?”

“Lo harus meninggalkan dunia hiburan selamanya dan mengambil seluruh tanggung jawab sebagai pemimpin perusahan keluarga.”

“Agar bisa keliling dunia dengan bebas, eh?”

Rendy seorang traveler. Ia suka bepergian keliling dunia, tetapi sejak orang tua mereka memintanya—lebih tepatnya memaksa—menggantikan Elang yang tidak bertanggung jawab, memegang kepemimpinan perusahaan keluarga, ia nyaris tidak pernah bepergian lagi, keculi untuk urusan bisnis.

Adiknya itu seorang anak yang penurut, berbeda dengan Elang yang gemar membangkang. Elang menuruni sifat bapaknya, keras dan tidak bisa dikendalikan. Memaksa Elang meninggalkan dunia hiburan untuk beralih ke dunia bisnis, sama seperti berusaha memindahkan bulldozer dengan tangan kosong. Mustahil. Bapak pun menyerah, sehingga pada akhirnya Rendy harus berkorban, setidaknya begitu menurut adiknya.

“Tentu saja,” dengusnya. “Gara-gara elo, gue harus melepas kesenangan.”

“Baiklah, mari kita bersaing. Ingat, murni taruhan. Tidak ada yang boleh jatuh cinta padanya. Jatuh cinta sama dengan kalah.”

 “Oke, deal!”

Sejak saat itu, keduanya mulai pendekatan dengan cara masing-masing.

Bersambung ...

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang