8

165 36 4
                                    

Sama-sama memikat, tetapi memiliki perbedaan. Senyum Rendy jauh lebih ramah dibandingkan senyum sang kakak yang cenderung acuh-acuh butuh, khas pria tampan yang menyadari ketampanannya. 

Tak seperti Elang yang terang-terangan mendekatinya, Reny sebaliknya, pria itu bershabat, sama sekal tidak terlihat ingin menggodanya. Namun, tidak lantas membuat Fatiha merasa lebih baik. Ia sudah sangat kenyang dan hafal dengan berbagai tipu muslihat pria. Dari yang kalem hingga agresif, dari yang terang-terangan hingga diam-diam. 

Baginya semua pria sama saja, sam-sama memuakkan. Hanya satu pria yang baik di matanya. Ulil, kakak iparnya. Hanya pria itu yang tetap menjaga pandangannya untuk sang istri, tidak jelalatan dan berusaha menggoda adik iparnya yang cantik jelita. Para tetangganya, bahkan yang telah beristri pun tak pernah melewatkan kesempatan setiap melihat Fatiha. Mereka menatapnya lapar, menyiulinya, bahkan terang-terangan menggodanya. Sejak menyandang status janda semua orang mendadak kurang ajar kepadanya. Sungguh Fatiha merasa direndahkan.

Hanya satu pria baik di matanya, yang artinya Rendy tidak termasuk. Seramah apa pun kesan yang berusaha ditampilkannya, Fatiha tetap menjaga jarak. Ia tidak mudah tergoda untuk membalas keramahannya.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Datar suaranya bertanya, kala Rendy tiba-tiba menghampirinya sembari memberinya senyuman ramah.

“Boleh aku minta tukar kamar?” 

“Bapak mau meminta yang seperti apa?”

“Seperti punya Elang.”

Fatiha mengangguk tanpa senyum. “Baik, saya akan meminta seseorang untuk menyiapkannya.”

Fatiha pikir Rendy akan segera menyingkir, tetapi rupanya tidak. Pria itu masih bertahan. “Ada lagi, Pak?”

“Bisakah kamu tidak memanggilku dengan sebutan pak? Aku sungguh merasa sangat tua.”

“Bapak minta dipanggil tuan?”

“Tidak, tidak! Itu juga sama buruknya. Panggil saja Rendy.”

Tegas Fatiha menggeleng. Formalitas membuatnya merasa nyaman dan aman, tentu saja Fatiha tidak mau melakukannya. “Maaf, saya tidak bisa, Pak.”

“Baiklah, tidak masalah.” Rendy tersenyum, sama sekali tidak tersinggung dengan penolakan Fatiha. Sikapnya justru kian santai. “Kurasa, kamu juga akan menolak bukan, jika aku mengajakmu untuk menemaniku sarapan?”

“Tentu, Pak.” Fatiha tidak perlu merasa sungkan menolak siapa pun. Ia bukan Salma, kakakknya yang berhati lemah. Fatiha keras kepala dan blak-blakan. “Jika tidak ada lagi yang Bapak butuhkan, saya ijin melanjutkan pekerjaan.”

“Oke, silakan. Aku akan menikmati udara di sini, lanjutkan saja pekerjaanmu aku tidak akan mengganggu.”

Rendy tetap di sana, ia tidak merasa terusir walau Fatiha melakukannya dengan cara yang sangat halus. Fatiha menghela napas berat, tidak hanya Elang, kini adiknya pun menunjukkan gelagat ikut-ikutan.

Tak berkata-kata, akhirnya ia melanjutkan pekerjaannya menyemai biji sayuran bersama beberapa pekerja. Fatiha menikmati pekerjaannya, ia memutuskan untuk tidak peduli dengan kakak beradik Kusumawardana itu.

***

“Gila! Gue ditolak seketika, Lang!” seru Rendy. Elang terbahak hingga tersedak kopi paginya dan terbatuk-batuk. Adiknya tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir, sama sekali tidak terlihat kesal mendapat penolakan dari bidadari tak bersayapnya.

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang