12

114 13 2
                                    

Senyum tersungging di wajahnya yang pucat, binar matanya sarat menunjukkan keharuan dan harapan yang luar biasa. Mendesah berat, bagaimana mungkin Fatiha tega menghapus harapan besar dalam netra tua ibunya?

"Ibu senang sekali, akhirnya Fatiha bersedia mengenalkan seorang pria."

Tidak ada jawaban dari sang empunya. Sejak kepulangannya yang amat sangat terpaksa, Fatiha lebih banyak diam. Ia hanya menanggapinya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Namun, berbeda dengan Elang. Pria itu sepertinya tidak seangkuh yang dipikirkannya.

Elang tidak hanya menyapa Ibu dengan hangat, pria itu juga mengobrol santai dengan Ulil. Mereka seperti kawan lama yang dipertemukan kembali. Pembawaannya yang angkuh dan menyebalkan luruh begitu saja.

"Saya jauh lebih senang, Bu, untuk pertama kalinya Elang mau bicara soal pernikahan. Sekarang saya tahu alasannya, betapa istimewanya Fatiha."

Apakah Fatiha merasa tersanjung? Sama sekali tidak. Jika bisa, lebih baik ia menjadi orang yang tidak menarik di mata Elang dan terhindar dari permainan pria itu, menjauh sejauh yang ia dapat.

Fatiha sudah berusaha menghindar, tetapi Elang terlalu pintar, menjebaknya dalam permainan di mana Fatiha susah untuk menghindar. Bak rubah bertopeng pria tampan, Elang menyebalkan sekaligus licik. Melibatkan orang tua untuk menjeratnya, yang mana merupakan kelemahan Fatiha.

Melihat tatapan mata tua Ibu, Fatiha rela mengorbankan apa saja termasuk kebahagiaannya sendiri. Fatiha sadar, sepenuhnya ia telah kalah dari Elang. Pria itu akan mendapatkan keinginannya setelah menggunakan kelemahan Fatiha.

"Saya baru tahu ternyata Fatiha adik iparnya Gus Ulil. Saya merasa semakin yakin, pilihan Elang tidak pernah salah."

Bu Fatma tentunya mengenal Ulil, mengingat suaminya adalah rekan bisnis. Kakak iparnya itu pula yang merekomendasikan Fatiha untuk mengisi jabatan kosong sebagai pengelola Vila Bunga. Kalau saja bukan atas jasa Ulil, tentunya Pak Kusuma tidak akan semudah itu menerimanya dan mempercayakan segala urusan kepada Fatiha. Fatiha merasa beruntung kakak iparnya mengenal dekat Pak Kusuma.

Namun, sekarang kedekatan mereka seperti menjadi bumerang baginya. Dunia terasa begitu sempit. Elang pun tampaknya begitu nyaman mengobrol dengan Ulil. Diam-diam Fatiha meliriknya, pria itu tampak santai. Sesekali senyum lebar tersungging di bibirnya, semakin menambah ketampanannya.

Tidak mau munafik, Fatiha mengakui daya tariknya. Elang bak mengandung magnet yang dapat menarik siapa saja untuk berlama-lama menatapnya penuh kekaguman. Gigi-giginya terlihat putih dan rapi kala ia tertawa, membuat kedua matanya menyipit. Magis, tatapannya menghipnotis, membangkitkan gelenyar aneh dan semburat kemerahan di wajah siapa saja yang ditatapnya dengan tatapan menyipit seperti itu.

Rahangnya persegi, menampilkan kesan kokoh dan keras dengan jambang tipis yang tercukur rapi. Dan, senyumannya, jenis senyuman iblis penuh tipu muslihat, tetapi justru menjadi daya tariknya yang paling kuat dan tidak dapat diabaikan.

Benar, tidak ada manusia yang diciptakan sempurna, tetapi gabungan antara ketampanan dan sikap Elang yang cenderung acuh-acuh butuh, bisa dibilang paripurna. Tidak heran jika ia dijadikan banyak idola para kaum hawa. Dari yang tua, muda, hingga remaja, begitu yang didengarnya dari para pekerja di Vila Bunga.

Namun, bukan berarti Fatiha menjadi salah satunya. Menegaskan kembali, ia sudah terlalu lelah disakiti pria. Fatiha memang cantik, banyak yang menyukainya, tetapi dalam hal cinta ia kurang beruntung. Dari sekian banyaknya pria yang menyanjung-nyanjung dan ingin mendapatkannya, alih-alih bertemu dengan pria baik yang dapat mencintainya dengan setulus hati, dua kali justru ia terperosok dalam kubangan menyakitkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang