“Ti, kamu masih mendengarkanku? Dari tadi diam saja.”
Gelagapan, Fatiha segera menyauti. Ia sedang tidak fokus, tidak mendengarkan kalimat-kalimat kakaknya. “Mbak Salma ngomong apa barusan?”
“Kamu melamun. Ada yang sedang mengganggu pikiranmu?”
Menghela napas, Fatiha membenarkannya dalam hati. Ia memang tengah resah. Bagaimana tidak, hari ini juga Elang memaksa untuk datang menemui orang tuanya. Fatiha tentu bisa cuek, tidak meladeninya, andai saja pria itu tidak melibatkan Bu Fatma. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika Bu Fatma pun mendukungnya.
“Saya sudah lelah menghadapi tingkah Elang. Asal sungguh-sungguh, saya akan mendukung anak itu menikahi perempuan pilihannya.”
Sialnya Fatiha yang menjadi pilihan Elang, padahal di luar sana banyak perempuan yang rela antre untuknya, setidaknya begitu menurut Bu Fatma. Fatiha merasa begitu apes. Tujuannya menyembunyikan diri di sini untuk menghindari para pria, tetapi justru bertemu pria yang kemudian menyulitkannya.
“Bu, saya tidak yakin Pak Elang sungguh-sungguh,” ujarnya memelas.
Ia sungguh tidak ingin berurusan dengan Elang, apa lagi sampai menyeret ibunya. Ibu sudah tua, selama ini Fatiha telah banyak membuatnya sedih. Tidak hanya sikapnya yang gemar memancing keributan, tetapi juga gosip-gosip tak menyenangkan yang kerap menerpanya. Ibu kerap kali menangis diam-diam, kadang meminta Fatiha untuk kembali menikah agar berhenti diterpa gosip.
Fatiha lebih memutuskan pergi, menyembunyikan diri dari para pria sehingga orang-orang berhenti menggosipinya daripada harus kembali menikah. Ia tidak akan terlibat hubungan dengan pria lagi. Cukup sekali ia jatuh cinta, menjadi yang pertama sekaligus terakhir kali. Fatiha tidak akan pernah lagi membiarkan hatinya dilukai. Cinta yang bodoh, sehingga akhirnya harus mengorbankan kebahagiaannya.
Andai waktu itu ia tidak gegabah membuat keputusan, sekedar menunjukkan bahwa ia mampu menemukan pria yang lebih baik dari mantan kekasihnya. Sayangnya, Arman tidak bisa dibandingkan dengan Haris. Fatiha terkecoh, ia merasa tertipu. Hatinya yang telah patah, semakin berdarah-darah. Selama ini ia berkubang dalam penyesalan. Ia memang bodoh, lebih tepatnya cintalah yang membuatnya begitu bodoh.
“Melamar seorang gadis, artinya Elang sungguh-sungguh, Ti.”
“Tapi, Pak Elang sama sekali tidak sungguh-sungguh, Bu. Bisa jadi itu hanya akal-akalannya untuk membuat Ibu percaya. Saya tidak mau mempermainkan pernikahan, Bu.”
“Fatiha,” Bu Fatma memegang kedua bahunya, ditatapnya Fatiha sungguh-sungguh. Tatapan keibuan yang diliputi harapan besar. “Saya telah lama menginginkan Elang menikah. Anak itu sudah telalu lama main-main. Dia memang gemar bergonta-ganti teman kencan, tetapi tidak akan berani mempermainkan pernikahan. Sebelum ini, dia tidak pernah sudi membicarakan pernikahan, ketika akhirnya dia berkata ingin melamarmu langsung kepada orang tuamu, itu artinya dia tidak main-main. Ini adalah kali pertamanya dia bicara pernikahan, Ti.”
“Bu—”
“Percayalah, Fatiha. Saya sangat mengenal anak-anak saya.”
“Tapi, saya tidak ingin menikah dengannya, Bu.”
“Fatiha, saya berjanji akan memberikan apa pun padamu asal kamu bersedia menikah dengannya.” Bu Fatma meraih tangan Fatiha dan menggenggamnya. Matanya berkaca-kaca menatap penuh permohonan. Fatiha menggeleng gundah. Rasanya ia ingin sekali menangis menghadapi situasi seperti ini. “Tolong, Ti, penuhilah permintaan orang tua ini. Sebelum kanker merenggut nyawa saya, saya ingin melihat Elang menikah.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Muhasabah Cinta
RomanceMenyandang status janda di usia yang masih muda tidaklah mudah untuk Fatiha, apa lagi ia adalah bunga desa yang banyak disukai para pemuda. Tak hanya gangguan dari mantan suami, godaan dari para lelaki yang mengagumi Fatiha dan cemoohan tetangganya...