11

58 10 1
                                    

Memijat kening. Di sana terasa berdenyut. Fatiha merasa terpojok. Tidak hanya menghadapi Elang dan Bu Fatma, sekarang ia juga harus meyakinkan keluarganya bahwa percakapan yang didengar Salma tidaklah benar. 

Ibu dan Salma begitu menginginkan ia menikah, bahkan adiknya yang anak bau kencur pun ikut-ikutan bersemangat menjodoh-jodohkannya. Fatiha menghembuskan napas mendengar pekikan senang Amira dari seberang.

“Itu tida benar, Mir,” desahnya frustasi.

“Tapi, Mbak Salma bilang ibunya Mas Elang akan datang untuk melamar Mbak Tiha. Betul namanya Elang, kan, Mbak?”

“Jangan dengerin Mbak Salma. Itu tidak benar!”

“Mbak Salma tidak mungkin berbohong pada Ibu. Udah, deh, Mbak Tiha ngaku saja! Katanya mau menyenangkan hati Ibu. Ibu tuh seneng banget waktu dengar kabar itu, bahkan langsung masak-masak banyak untuk menyambut calon suami Mbak Tiha, padahal lagi tidak enak badan.”

Salma benar-benar menyebalkan! Kini, tidak hanya berdenyut, kepala Fatiha juga terasa berputar. Kalau saja ia tengah berdiri, mungkin sudah limbung dan jatuh. Udara segar di sekitarnya sama sekali tidak membantunya. Ibu sudah diberitahu dan merasa sangat senang. Fatiha tidak punya jalan lain selain maju, mengikuti permainan Elang.

“Jam berapa mereka akan datang, Mbak?”

“Tidak tahu.”

“Kok, tidak tahu, sih? Mbak Tiha ini bagaimana. Ibu nanyain terus dari tadi!”

“Kami sedang bersiap-siap untuk berangkat. Katakan itu pada keluargamu, jika menanyakannya.”

Fatiha terlonjak. Ia segera berdiri begitu melihat Elang berdiri bersama kedua putranya. Berbanding terbalik dengan penampilan mereka yang rapi, Fatiha justru terlihat apa adanya sebagaimana penampilannya sehari-hari ketika ikut turun mengelola perkebunan sayur dan buah. Hanya mengenakan celana kulot dan atasan kaos seragam para pekerja.

Bu Fatma terlihat sangat anggun dengan kebaya dan jariknya. Rambutnya disanggul rapi. Rendy mengenakan kemeja batik, sementara Elang tampak memesona dengan kemeja yang dipadukan dengan celana jeans. Lengan kemea digulung hingga siku. Gaya Elang tidak serapi ibu dan adiknya, akan tetapi justru terlihat sangat memikat dan—seksi.

Menggelengkan kepala, buru-buru Fatiha mengusir pikiran tersebut. Ia menyunggingkan seulas senyum kepada mereka—lebih tepatnya kepada Bu Fatma. Senyumnya tak sampai mata, terlihat sekali dipaksakan.

“Apakah keluargamu yang menelepon?” tanya Bu Fatma. Nada suaranya lembut, tak lagi tegas seperti di awal-awal. Menyadari keengganan Fatiha, Bu Fatma menghampiri, lantas menepuk bahunya lembut. “Kalian ke mobil dulu. Ibu akan menyusul dengan Fatiha.”

Dua kakak beradik itu segera menyingkir. Senyum Bu Fatma diliputi rasa bersalah kala menatapnya. “Saya minta maaf, Ti. Saya tahu, kamu pasti keberatan dengan permintaan saya.”

“Bu—”

Bu Fatma menggelengkan kepala, memintanya untuk tidak memotong ucapannya. “Saya tahu, permintaan saya kepadamu tidak pantas, tapi saya tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi Elang berkata ingin menikah. Itu yang menjadi harapan terbesar saya dan Bapak. Kami ingin Elang menikah, lalu berhenti dari dunia hiburan, berhenti main-main terhadap hidupnya. Kami ingin anak itu mengemban tanggung jawab sebagai seorang suami.”

“Tapi, kenapa harus saya, Bu? Pak Elang bahkan tidak mencintai saya.”

“Elang tidak mungkin tidak menyukai perempuan yang akan dinikahinya. Dia memang suka gonta-ganti teman kencan, tapi beda cerita kalau sudah menyangkut ikatas suci.”

“Pak Elang hanya ingin agar Ibu berhenti mendesaknya menikah.”

Bu Fatma menggeleng tegas, sama tegasnya dengan tatapannya. “Saya sangat mengenal Elang, Ti. Saya melahirkan dan membesarkannya. Dia tidak pernah peduli kalaupun saya mendesaknya untuk segera menikah. Anak itu cuek dan masa bodoh, hanya masuk telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Desakan ibunya sama sekali bukan sebuah alasan. Ia mau menikah karena memang ingin. Mungkin kamu adalah pelabuhan terakhirnya, ia menganggap kamu cocok untuknya.”

Fatiha hanya menghela napas. Ia tidak mempercayai ucapan Bu Fatma, semuanya berbanding terbalik. Elang menikahinya hanya untuk main-main. Bagaimana pria itu menganggap Fatiha cocok untuknya, sementara mereka tidak mengenal satu sama lain, tentunya selain sebatas tahu. Mereka baru sebulan bertemu. Pertemuan yang sangat singkat dan terlalu buru-buru untuk menyimpulkan kecocokan pria itu dengannya.

Elang terlalu pintar mengelabui ibunya, sehingga Bu Fatma berpikir begitu mengenal putranya.

***

“Apakah itu artinya lo siap-siap hengkang dari dunia hiburan?” tanya Rendy. Senyum iblisnya tersungging di bibirnya.

“Kalah taruhan maksud lo?” Elang tertawa meremehkan. “Justru ini baru dimulai, Bro.”

“Tidak ada dalam perjanjian kalau lo bakal menikahinya.”

“Tidak ada dalam perjanjian kalau gue boleh menikahinya,” balas Elang membalikkan ucapan adiknya. “Perempuan seperti Fatiha tidak mudah dikencani, Ren. Sepertinya tipe-tipe yang minta dikawinin. Gue akan menaklukkannya ketika dia sudah resmi jadi istri gue.”

“Lo tidak bisa mempermainkan ikatan suci, Lang. Resikonya, Ibu Fatmawati kan mencoret nama elo dari daftar KK.”

Elang tertawa santai. “Kita lihat saja nanti.”

“Semoga lo kena batunya, beneran jatuh cinta sama Fatiha.”

“Cinta hanya milik orang-orang bodoh.”

“Ibu Fatmawati dan Bapak Kusumawardana salah satunya, dong?”

“Itulah, Ren. Emang lo mau seperti bokap, jadi budak cintanya Ibu Fatmawati?”

Rendy ngakak keras. Mereka memang kerap mengolok-olok Bapak untuk hal tersebut. Seorang pengusaha yang tegas dan berwibawa, tetiba berubah menjadi Hello Kitty kala bersama istrinya. Bapak tidak segan merayu Ibu ketika istri tercintanya itu merajuk, membujuknya dengan kata-kata manis yang mampu membuat perut Elang bergolak.

Ya, cintalah yang membuat Bapak begitu memuja istrinya. Ibu bak ratu di dalam rumah, selalu menjadi prioritas Bapak dalam segala hal. Bukan berarti Elang tidak suka dengan kerukunan mereka. Sebagai anak, tentunya Elang bahagia melihat keharmonisan rumah tangga kedua orang tuanya. Hanya saja, ia tidak ingin menjadi budak cinta seorang perempuan, membuatnya terlihat konyol dan bodoh.

“Gue berharap Ibu Fatmawati denger ucapan lo.”

“Kalaupun dengar, kali ini gue rasa bakal terhidar dari tabokannya. Suasana hati Ibu Fatmawati sepertinya sedang bagus, gue suap pakai calon menantu.”

Perlahan tawa Rendy mereda, mereka sama-sama melihat ke luar jendela mobil, menyaksikan Ibu dan calon menantunya berjalan bersisian.

“Melihat dari ekspresi Fatiha, gue gak yakin lamaran lo bakal diterima,” komentar Rendy.

Elang menghidupkan mesin mobil sembari tersenyum misterius. “Justru gue yakin lamaran gue bakal diterima.”

Bersambung …

Muhasabah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang